FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Sore itu, waktu menunjukkan pukul 16.09 Wita. Masjid Jami' Nurul Mu'minin Jalan Urip Sumoharjo, Kecamatan Panakkukang, Makassar masih dipenuhi Jemaah.
Dikenal sebagai bagian dari cagar budaya, Masjid Jami' Nurul Mu'minin menjadi salah satu tempat ibadah yang banyak dikunjungi.
Apalagi, tepat di samping Masjid, terdapat makam Andi Cincin Karaeng Lengkese dan kerabatnya.
Sejumlah warga Kota Makassar jelang memasuki Ramadan, juga datang untuk berziarah. Begitupun setelah lebaran.
Hal itu diungkapkan Ketua Pengurus Masjid Jami' Nurul Mu'minin, Muhammad Ridwan Gassing, saat ditemui pada Jumat (15/3/2024).
"Tapi tidak dikeramatkan, hanya berziarah saja," kata Ridwan.
Tampak di dalam Masjid, warga setempat yang beragama Islam kelihatannya masih semangat beribadah.
Mengingat, Ramadan 1445 H masih dalam hitungan hari keempat menurut perhitungan rukyat versi pemerintah.
Berdasarkan pengakuan Ridwan, jika Masjid Jami' Nurul Mu'minin penuh, maka jemaahnya bisa mencapai 300 hingga 400 orang.
"Kalau full jemaah di sini bisa 300 sampai 400 jemaah," sebutnya.
Konon kabarnya, bangunan yang tidak pernah mengalami perubahan itu bernama Masjid Karuwisi Gowa. Namun berubah nama pada 1980-an menjadi Masjid Nurul Mu'minin.
"Tahun 90an (diberi nama) Masjid Jami' Nurul Mukminin," lanjut Ridwan.
Pada bangunan Masjid tersebut terdapat lima pintu yang tidak pernah diubah bentuknya dari pertama kali dibangun.
Lima pintu tersebut menandakan lima waktu salat. Selain itu, terdapat juga dua menara di bagian kiri dan kanan.
"Ini yang tidak pernah diubah, cuma kita sedikit kasih variasi lah. Ini sudah masuk cagar budaya," kata Ridwan sambil menunjuk ke arah bangunan.
Masjid yang berdiri di samping Sekolah Muhammadiyah ini kabarnya dibangun pertama kali oleh Raja Gowa, Sultan Muhammad Zainal Abidin yang menjabat pada 1825-1826 M.
Menurut cerita Ridwan, Masjid ini dibangun Zainal Abidin sejak Islam mulai besar di Timur Indonesia.
Jika Zainal melakukan perjalanan ke Kerajaan Tallo, ia selalu mendapatkan waktu salat zuhur di masjid tersebut yang sebelumnya hanya tempat persinggahan atau rest area.
"Dulu kalau orang sini bilang, passauang, orang sekarang bilang saung atau tempat istirahat, rest area," ucapnya.
Saat itu, Raja Gowa memang dikenal memiliki rest area. Hal itu sangat bermanfaat ketika melakukan perjalanan ke Kerajaan Tallo.
Karena selalu menjadi tempat beribadah, maka rest area itu diubah menjadi musala. Tujuannya agar bisa digunakan oleh raja dan pengawalnya melaksanakan ibadah salat.
Seiring berkembangnya Islam, Raja meminta para pengawalnya untuk mengumpulkan ranting pohon yang berukuran lengan orang dewasa. Ranting itu dijadikan sebagai dinding sementara.
Kemudian untuk atapnya, waktu itu pengawal kerajaan menggunakan ijuk.
"Karena tempat wudu tidak ada, beliau perintahkan untuk gali sumur," Ridwan menuturkan.
Sumur tersebut dikatakan Ridwan terletak di bagian belakang Masjid. Sumur itu hingga saat ini masih terus digunakan dan dirasakan manfaatnya oleh warga setempat. (Muhsin/Fajar)