FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah Indonesia tidak berhenti memberikan perhatian terhadap kondisi di Laut Natuna Utara. Wilayah perbatasan yang bersinggungan dengan Laut China Selatan (LCS) itu sangat penting.
Lokasi strategis dan sumber daya alam melimpah membuat perairan itu menjadi rebutan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dengan tegas menyatakan, pemerintah tidak ingin LCS menjadi episentrum konflik.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Hadi dalam webinar yang diselenggarakan oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS).
”Kita tidak ingin melihat wilayah LCS justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers dan menjadi episentrum konflik,” kata Hadi tegas.
Untuk itu, pemerintah bertekad menjalankan mandat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Alinea keempat. Indonesia harus mampu mengubah LCS menjadi sea of peace.
”Kita harus terus menyerukan agar semua pihak menahan diri dari aksi yang dapat memicu insiden, menjaga status quo, serta menggunakan cara-cara non kekerasan,” bebernya.
Selain itu, juga harus dilakukan perundingan damai yang berdasar norma hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Meski bukan negara claimant, Indonesia punya kepentingan besar untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di LCS. Sebab, LCS berada tepat dekat halaman depan Indonesia.
”Dan tentunya kita tidak ingin melihat adanya konflik atau bahkan terjadinya perang terbuka di kawasan itu,” imbuhnya.
Jika sampai terjadi perang terbuka di LCS, dampaknya bakal terasa secara global. Lebih dari itu, perang terbuka itu akan menjadi ancaman langsung bagi keamanan nasional Indonesia.
Pejabat yang pernah bertugas sebagai panglima TNI itu menyatakan bahwa Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terus menggaungkan klaim mereka atas LCS.
Belum lama, RRT menerbitkan peta baru secara unilateral dengan menambahkan satu garis putus-putus dari nine dashed lines menjadi ten dashed line.
Dengan peta baru itu mereka mengklaim seluruh wilayah LCS. ”Di beberapa bagian, garis putus-putus tersebut bahkan tumpang-tindih dengan wilayah ZEE kita,” ujarnya.
Hadi memastikan, Indonesia secara konsisten telah menyampaikan keberatan atas peta tersebut.
Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam juga menyampaikan protes keras. Sebab, klaim RRT tidak berdasar pada UNCLOS 1982.
”Pemerintah Indonesia terus menaruh perhatian dan berkepentingan atas hak berdaulat yang seharusnya dan berhak mengelola kekayaan alamnya” tegas dia.
Untuk memperkuat klaimnya, RRT telah membangun pulau buatan dengan reklamasi fitur-fitur maritim di LCS. ”Yang dilengkapi dengan pangkalan militer dan lapangan udara,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, RRT melalui Coast Guard dan milisi nelayan sipilnya juga terus melakukan penghalauan terhadap kapal nelayan negara lain. Situasi tersebut direspons keras. Utamanya negara-negara yang selama ini bersengketa di LCS.
Tidak sampai di situ, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya telah membangun kekuatan aliansi. Yakni AUKUS dan QUAD. Menurut dia, itu dilakukan oleh AS untuk membendung pengaruh RRT di kawasan.
”AS ingin menegaskan agar prinsip freedom of navigation tetap berlaku di LCS,” imbuhnya.(syn/JPG/zuk)