FAJAR.CO.ID, MAKASSAR, FAJAR - Konflik internal yang berkepanjangan merugikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Imbasnya, gagal mencapai ambang batas parlemen.
Partai berlambang Kakbah itu terlalu lama "merawat" konflik internalnya. Konflik itu dimulai pada kepemimpinan Ketua Umum Suryadharma Ali (SDA) pada 2014. Gejolak di dalam PPP mulai terjadi sejak Musyawarah Kerja Nasional di Lirboyo, Jawa Timur.
Saat itu PPP mulai memetakan calon yang bakal diusung pada Pilpres 2014. Kemudian mengerucut antara Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Akan tetapi, Suryadharma dan Djan Faridz mendadak menghadiri kampanye Prabowo Subianto dan menyampaikan dukungan.
Dukungan itu kemudian menuai protes dari 27 dewan pimpinan wilayah (DPW) PPP.
Partai kemudian terbelah, antara kubu SDA yang didukung Djan Faridz dan Sekjen PPP Romahurmuziy. Tak lama setelah itu, SDA ditetapkan tersangka korupsi dana haji oleh KPK.
Meski sudah ditetapkan tersangka, SDA tak kunjung mengundurkan diri dari partai. Kader resah sebab mencoreng nama partai. Setelah SDA ditahan, kubu Djan Faridz dan Romahumuziy menggelar muktamar.
Muktamar PPP di Jakarta menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum. Sedangkan kubu Romahurmuziy juga ditetapkan sebagai ketua umum pada muktamar di Surabaya. Kubu Romahurmuziy lebih kuat sebab dihadiri oleh 72 persen perwakilan.
Setelah mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi, tidak ada satupun gugatan Djan Faridz yang diterima. Dualisme berakhir pada 2021, kedua kubu berdamai. PPP saat itu dinakhodai Suharso Monoarfa.