Cerita Mahasiswa UIN Alauddin yang Ikut Program Magang ke Jerman: Saya Tidak Merasa Korban TPPO

  • Bagikan
Rektorat UIN Alauddin Makassar

FAJAR.CO.ID,MAKASSAR — Bareskrim Polri menyebut ada 1.047 mahasiswa korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok magang di Jerman. FM adalah salah satunya, namun ia membantah disebut korban.

“Saya merasa bahwa bukan korban,” kata FM kepada fajar.co.id, Jumat 29 Maret 2024.

FM, ialah Mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Perkenalan dirinya dengan program ferienjob pada pertengahan 2022. Tahun pertama program itu buka untuk mahasiswa di Indonesia.

Ia mendengar informasi program tersebut dari seorang temannya. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang memang sudah lama bercita-cita meniti karir di luar negeri, FM mendaftarkan diri.

“Saya daftar di tahap pertama. Tapi karena telat, akhirnya tidak lulus,” ucapnya. Namun ia tidak menyerah, pada 2023, FM kembali mendaftar dengan persiapan yang lebih matang.

“Pendaftarannya itu bisa dibilang lebih cepat dari mahasiswa lain. Jadi dari bulan 1 di tahun 2023 itu saya sudah daftar,” akunya.

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi itu mendaftar secara mandiri. Mengingat UIN Alauddin, tidak menjalin kerja sama dengan lembaga yang mengadakan program tersebut.

Persiapan keberangkatan diurus FM sendiri dengan dana pribadi. Mulai dari kelengkapan syarat administratif, visa, hingga tiket pesawat pergi pulang Indonesia - Jerman.

Untuk kelengkapan syarat administrasinya: translate dokumen sekitar Rp100 ribu, lalu mengurus dokumen ke Surabaya dengan biaya pesawat Rp2 juta pergi pulang Makassar-Surabaya.

Ia juga membayar pada pihak agensi Rp350 Euro, jika dirupiahkan Rp5 juta sampai Rp6 juta. Kemudian tiket pesawat pergi pulang Jakarta, Indonesia - Frankfurt, Jerman Rp20 juta, dan visa sekitar Rp1 juta.

“Saya berangkat tanggal 10 bulan 10 (2023),” ujarnya.

Setiba di Frankfurt, Jerman, ia bertolak ke Bremen. Sebuah kota yang lumayan besar dekat Belanda. “Di sana saya tinggal di apartemen,” ucapnya. Dibayar 20 Euro atau sekitar Rp300 ribu per hari.

Apartemen tersebut terdiri dari tiga lantai, tiap lantainya diisi mahasiswa berbagai negara. “Saya satu-satunya orang Indonesia di lantai itu….” imbuhnya. “…teman kamar saya ada orang Georgia dan Inggris”.

Di sana, FM tidak langsung bekerja. Sebagaimana lazimnya, kata dia, orang yang ingin bekerja mendaftar ke agensi pencari kerja. Agensi itu yang akan mendaftarkan untuk bekerja.

Waktu itu, ia mendaftar di Raj, lalu bekerja di 4PX. Sebuah perusahaan logistik asal China.

Sebelum bekerja, ia menandatangani kontrak kerja. Karena cakap berbahasa Inggris, FM menanyakan detail kontrak kerja yang ditawarkan dalam draft bahasa Jerman itu.

“Saya bertanya secara detail apa isi kontraknya, bahwa kontrak ini berisi gaji, waktu kerja, dan apa yang boleh dan tidak boleh,” ucapnya.

Saat mulai bekerja, pria asal Mamuju, Sulawesi Barat itu mengatakan diberi kerjaan yang sederhana. Seperti memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lain, mengemas, dan sebagainya.

Tiap hari Senin hingga Jumat, FM bekerja minimal delapan jam sehari. Diupah 13 Euro per jam.

“Kalau dikonversi sekarang Rp17.000. Jadi Rp221.000 dikali delapan jam per hari Rp1.768.000,” bebernya.

Nominal upah yang disebut FM tidak sedikit itu, bahkan memacunya untuk bekerja lebih dari delapan jam. “Kami sendiri yang meminta jam kerja itu ditambah,” katanya.

“Karena gajinya itu lumayan sekali kalau dikonversi ke mata uang Indonesia, jadi kalau misalnya kita punya kesempatan lembur, kita akan lembur. Di hari Sabtu bahkan ada beberapa dari kami yang mengajukan bekerja,” sambungnya.

Meski begitu, FM sadar tiap peserta bisa saja punya pengalaman berbeda. Apalagi melihat keluhan sejumlah peserta yang kini seliweran di media.

Soal tanda tangan kontrak misalnya, ada yang mengeluhkan menanda tangani kontrak di atas mobil yang gelap. Dengan draft berbahasa Jerman pula. Sehingga tidak paham dengan isinya.

Ada pula yang mengeluh karena pagi buta mesti berjalan untuk berangkat kerja, di tengah udara dingin Jerman yang sangat berbeda di Indonesia.

“Saya tidak berani menggeneralisasi,” katanya. “Tapi itu saya tidak mengalami seperti yang mereka kisahkan”.

Ia menuturkan, saat baru mulai bekerja, memang lumayan berat. Apalagi budaya kerja di Indonesia dan Jerman yang berbeda.

“Jadi memang teman-teman dari Indonesia beberapa yang mengalami culture shock, termasuk saya,” akunya.

FM menguraikannya menjadi tiga. Pertama, orang Eropa, khususnya orang Jerman partikular, sangat ketat dengan waktu.

“Jadi kalau mereka bilang kota kerja di jam 7 pas, itu di jam 7 pas kita harus benar-benar ada di situ bekerja. Kalau tidak kita akan dapat teguran dari mereka,” urainya.

Kedua, orang Eropa disebutnya punya karakter yang direct. Tidak basa-basi. Menurutnya, itu yang membuat orang Asia, terutama orang Indonesia kaget.

“Berpikir “Aduh kok lingkungan kerjanya begini yah. Kok bisa mereka dengan enteng mengucapkan hal yang bikin sakit hati”. Padahal itu memang budaya mereka,” ujarnya.

Ketiga, yakni persoalan fisik. Sebagai pekerja tanpa skil, pekerjaan peseeta program tersebut mengandalkan fisik.

“Jadi kalau orang Eropa mengangkat beban 5 kilogram atau 10 kilogram satu jari atau satu tangan, kita orang Indonesia akan menganggap itu berat. Sedangkan orang Eropa menganggap hal itu ringan,” ucapnya.

Uniknya, itu dilakukan tanpa perbedaan gender. Perempuan dan laki-laki diberi pekerjaan yang sama. Sementara di Indonesia, dinilainya tidak begitu. Kecenderungannya selalu memberikan pengerjaan keras pada laki-laki, sedangkan perempuan pekerjaannya lebih mudah lagi.

“Kalau di Jerman itu tidak bisa. Jadi banyak teman-teman cewek mengeluh soal itu,” imbuhnya.

Walau demikian, ia menyadari program ferienjob ini bukan tanpa celah. Ada keganjalan yang FM temukan dari kontrak kerja peserta fereinjob asal Indonesia dengan negara lainnya.

Di kontrak, para peserta asal Indonesia wajib membayar 20 Euro pada agensi setiap hari. Padahal, peserta negara lain lebih murah.

“Ada pelajar dari Georgia itu cuma bayar sekitar 12 atau 16 Euro,” ucapnya. Begitu pula dengan negara lainnya. Ia tidak ingat persisnya. “Tapi yang jelas mereka bilang jumlah yang mereka bayar lebih sedikit dari jumlah orang Indonesia bayarkan”.

“Walaupun di kontrak kerja sudah ada bahwa kita harus bayar 20 Euro itu. Tapi itu yang saya sayangkan,” tambahnya.

Tidak hanya itu, seorang sumber yang ditemui fajar.co.id, yang mengetahui program ini juga mengakui memang ada sejumlah peserta yang merasa ditelantarkan. Contohnya, saat baru pertama kali tiba di Jerman, tidak ada yang menjemput, mereka hanya diberi instruksi melalui telepon.

Namun kata sumber itu, kalau pun ada kelalaian, menurutnya program itu belum bisa disebut TPPO. Itu pula yang diungkapkan FM, ia menolak disebut korban TPPO.

“Apa yang saya alami dan pengetahuan saya terhadap TPPO dan human traficking, itu belum mencukupi dan sepenuhnya dikatakan saya sebagai korban,” ucapnya.

Saat ini, proses hukum dugaan TPPO berkedok magang ini diproses Bareskrim Polri. Lima orang telah ditetapkan tersangka, masing-masing berinisial ER (39), A (37), SS (65), AJ (52), dan MZ (60).

Tiga di antaranya, SS, AJ, dan MZ diminta wajib lapor. Kemudian ER dan A, yang saat ini berada di Jerman, ditetapkan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) karena mangkir dari panggilan polisi.

Sejumlah kampus disebut terlibat dalam kasus ini. Diketahui ada 41 kampus yang diduga terlibat, tujuh di antaranya berada di Makassar.

Di antaranya adalah UIN Alauddin, Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Fajar, Universitas Indonesia Timur, dan UKI Paulus.

Sejumlah kampus, termasuk UIN Alauddin telah membantah terlibat. Kampus berlabel Islam itu menegaskan FM magang ke Jerman hanya berbekal Surat Keterangan Aktif Kuliah. Pihak kampus, mengeklaim sama sekali tidak bekerja sama dengan pihak manapun untuk program tersebut.

Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menegaskan bakal memberi sanksi pada kampus yang terbukti terlibat dalam dugaan TPPO ini.

FM sendiri, merasa bingung dengan statusnya yang disebut sebagai korban TPPO. Jika kasus tersebut berlanjut dan dibawa ke pengadilan, kemudian dibahas oleh ahli, dan ia dikategorikan korban, maka bisa saja dia adalah korban.

“Tapi sampai saat ini saya tidak merasa sebagai korban,” tegasnya.

Ia malah menyayangkan, dengan adanya kasus ini program ferienjob di Indonesia bakal dihapus. Karena menurutnya, program tersebut memberi pengalaman yang luar biasa.

“Tapi ini pengalaman saya sendiri. Bukan yang lain. Saya tidak berani jamin mereka (peserta lain) bukan korban. Bisa jadi mereka salah satu korban,” ucapnya.

Ia sendiri, mengaku ketagihan ke Jerman gara-gara program itu. Sepulang dari Jerman 22 Desember 2023, hanya beberapa saat di Makassar ia langsung ke Jawa Timur untuk kurus bahasa Jerman. FM berencana kembali lagi ke Jerman untuk melanjutkan studi.

“Saat ini saya lagi ada persiapan untuk kuliah di sana lagi. Cuma terkendala di bahasanya. Jadi mungkin tahun ini, atau tahun depan saya bisa berangkat,” tandasnya.
(Arya/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan