Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi
Sudah sekitar 7 bulan pembantaian bahkan pemusnahan massal (genosida) kepada bangsa Palestina oleh penjajah Israel di Gaza berlangsung. Lebih 40,000 korban jiwa (lebih 2/5 di antaranya anak-anak dan wanita), penghancuran rumah-rumah, sekolah, rumah sakit, bahkan rumah-rumah ibadah (Masjid dan gereja). Kini selain pemboman, juga pemusnahan massal bangsa Palestina dengan apa yang disebut “starvation” (pembiaran mati kelaparan) dengan memblok bantuan makanan dan obat-obatan untuk masuk Gaza.
Kalaulah saja nurani manusia masih hidup, pastinya akan merasakan “pilu” dan “perih” melihat pembantaian yang sama sekali tidak berprikemusiaan itu. Kita menyaksikan dengan mata melalui ragam media sosial (yang lebih jujur dan transparan) setiap menit anak-anak Palestina terbantai. Dan mereka yang masih hidup harus mati pelan-pelan akibat malnutrisi karena tidak tersedianya makanan dan minuman, maupun obat-obatan untuk mereka yang luka dan sakit akibat serangan tentara penjajah.
Dan yang paling menyakitkan dari semua itu adalah ketika dunia menyaksikan dan seolah tak berdaya berbuat apa-apa. Dunia Arab dan dunia Islam sebagaimana tahun-tahun sebelumnya hanya mampu berkompetisi mengumbar “kutukan” (condemnation) atas apa yang terjadi. Tidak jarang pula terjadi “kemunafikan” nyata. Ada gap antara retorika di publik dan realita di belakang layar. Mengutuk Israel di muka umum. Tapi berangkulan dengannya di belakang pintu.
Realita dunia pun terbolak balik. Di saat sebagian dunia Islam membuka hubungan diplomasi dengan negara penjajah Israel, justru beberapa negara non Islam mengambil sikap tegas dan jelas menentang kebiadaban Israel di Gaza. Afrika Selatan di Afrika, Colombia di Amerika Latin, dan Spanyol di Eropa bahkan tanpa ragu mendeklarasikan pengakuan penuh terhadap Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Spanyol bahkan bertekad berkeliling Eropa untuk mempromosikan Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Colombia memutuskan hubungan diplomasi dengan Israel. Sementara Afrika Selatan menjadi pihak terdepan membawa Israel ke Mahkamah Internasional.