Ceritakan Kisah ‘Yaum al-Harroh’, Islah Bahrawi: Seringkali Penguasa Sengaja Membunuh Moralnya Demi Singgasana

  • Bagikan
Islah Bahrawi

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Meski Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah usai dan Prabowo-Gibran dinyatakan sebagai pemenang, tampaknya upaya penguasa yang dinilai ikut membantu memenangkan pasangan ini masih jadi pembahasan yang tak ada habisnya.

Hal itu terlihat dari tulisan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi, di aplikasi X. Meski tak menyebut nama, namun isi tulisannya bisa membuat pembaca menyimpulkan arahnya dengan sangat jelas.

"Penduduk Madinah di bagian timur laut menolak untuk mengakui Yazid bin Muawiyah sebagai pemimpin. Alasannya: kepemimpinan dalam Islam harus disetujui oleh seluruh Perwakilan Rakyat, bukan kekuasaan yang diwariskan dari Bapak kepada Anak. Selain itu, Yazid dianggap tidak pernah melaksanakan Syari'at Islam," tulis Islah, dikutip Jumat (26/4/2024).

Yazid murka mendengarnya. Penyerbuan besar-besaran dipersiapkan. Pasukan pemerintah dipimpin oleh Muslim bin Uqbah dengan kekuatan 12.000 pasukan. Hasilnya: ratusan sahabat Nabi dan sekitar 10.000 warga Madinah terbunuh. Perang itu dikenal dengan "Yaum al-Harroh", terjadi pada 26 Agustus 683.

Dalam catatan sejarawan Islam As-Samhudi (844-911), disebutkan sekitar 1000 anak haram lahir akibat pemerkosaan oleh tentara Yazid terhadap kaum perempuan tak bersuami setelah pertempuran itu.

Catatan Awana ibnu al-Hakam al-Kalbi (764) menceritakan brutalitas lainnya. Muslim bin Uqbah mengumpulkan tokoh-tokoh Madinah di masjid Quba untuk memaksa mereka berbai'at kepada khalifah Yazid. Beberapa tokoh suku Quraisy ditebas saat itu juga karena menolak, termasuk di antaranya seorang ulama bernama Ma'qil ibnu Sinan al-Ashja'i.

Pertempuran Harrah digambarkan sebagai salah satu kejahatan paling brutal dari Khalifah Yazid bin Muawiyah. Berbagai literatur sejarah Islam klasik seperti Imam at-Thabari dan Imam as-Suyuthi menerangkan bahwa Yazid tidak pernah menyesali segala perbuatannya dengan mengatakan bahwa semuanya atas perintah Tuhan.

Ini sejarah masa lalu. Kekuasaan memang menyilaukan mata. Banyak penguasa lebih memilih untuk dijajah oleh ambisi kekuasaannya. Seringkali seorang penguasa dengan sengaja harus membunuh moralnya demi menjaga singgasana.

"Sangat rumit untuk menasihati manusia yang sedang mematikan moralnya secara sengaja, kata Abdul Karim al-Jili, kecuali takdirnya sudah mulai mengkhianati segala ambisinya," tutupnya. (sam/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan