Contoh lainnya, kata dia, membuat puisi esai ini dengan gaya penulisannya. Agar lebih dalam lagi masukkan kedalaman renungan dan kata-kata Jalaluddin Rumi dalam puisi.”
Setelah instruksi diberikan, beber Denny JA, AI akan menuliskan satu puisi esai dengan sangat cepat.
“Puisi itu benar-benar mewakili ideologi Denny soal Hak asasi manusia dan diskriminasi. Puisi itu jauh lebih dalam karena AI memasukkan unsur Rumi ke tubuh puisi esai tersebut,” urainya.
Setelah AI semakin banyak dipakai, timbul pertanyaan besar: siapakah pengarang itu nanti?
Dia membeberkan, ketika menulis menggunakan AI, 80% adalah karya AI. Sisanya 20% baru diperdalam oleh manusia. Sama dengan melukis pakai AI. 80% lukisan dibuat oleh AI berdasarkan instruksi yang diberikan.
Sisanya 20% adalah bagian pelukisnya untuk memperdalam filosofinya, mengubah komposisi, dan memberi sentuhan akhir agar emosi pelukis lebih kelihatan di lukisan.
Ia mencatat bahwa AI telah membantu mengubah sastra dengan cara yang revolusioner, seperti menghasilkan karya yang mirip dengan gaya penulis terkenal seperti Margaret Atwood, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, dan Jalaluddin Rumi.
Menurut Denny JA, penggunaan AI dalam sastra tidak hanya mencakup penulisan, tetapi juga seni lukis.
Ia sendiri telah menghasilkan ratusan lukisan dengan bantuan AI, yang mengikuti gaya seniman terkenal seperti Picasso dan Van Gogh.
Namun, Denny JA juga menyoroti dilema etis yang muncul dengan semakin luasnya penggunaan AI dalam menciptakan karya seni. Ketika menggunakan AI, siapa sebenarnya yang dianggap sebagai pengarang atau pelukis? Bagaimana hal ini akan mempengaruhi ekonomi dan penghargaan atas karya seni?