Oleh Martha Herlinawati Simanjuntak
Krisis iklim merupakan ancaman besar terhadap keberlanjutan dan kemajuan pembangunan, dengan risiko terbesar menimpa perempuan, anak-anak, serta kelompok miskin dan rentan. Bahkan, pulau-pulau kecil terancam hilang. Untuk itu, negara-negara di dunia perlu bahu-membahu mengatasi krisis iklim termasuk dari sisi pendanaan aksi atau proyek iklim.
Perubahan iklim mengakibatkan, antara lain, kekeringan dan pencemaran air yang memengaruhi ketersediaan air bersih yang dibutuhkan masyarakat untuk minum dan sanitasi. Perubahan iklim juga meningkatkan suhu Bumi, risiko bencana, hingga kerawanan pangan. Dataran pesisir dan dataran rendah akan berisiko dilanda banjir.
Sebanyak 19 dari 25 kota yang paling terdampak jika permukaan air laut naik 1 meter berada di kawasan Asia dan Pasifik, dan tujuh di antaranya berada di Filipina. Namun, negara di kawasan ini yang paling terkena dampak banjir di pesisir adalah Indonesia, dengan sekitar 5,9 juta penduduknya akan terdampak setiap tahun hingga tahun 2100, menurut laporan Asian Development Bank (ADB).
Tanpa tindakan apa pun untuk mengatasi perubahan iklim, maka suhu di seluruh daratan Asia diproyeksikan akan naik sebesar 6 derajat Celsius pada akhir abad ini. Beberapa negara bisa dilanda iklim yang jauh lebih panas, dengan perkiraan peningkatan suhu hingga 8 derajat Celsius di Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan wilayah barat laut Tiongkok.
Kenaikan suhu akan membawa perubahan drastis di kawasan, termasuk pada sistem cuaca, sektor pertanian dan perikanan, keanekaragaman hayati darat dan laut, keamanan domestik dan regional, perdagangan, pembangunan perkotaan, migrasi, dan kesehatan. Kondisi ini akan dapat menghancurkan harapan apa pun untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.