FAJAR.CO.ID, SINJAI -- Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Sinjai melaksanakan gelar karya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Dalam kegiatan tersebut, siswa dan siswi kelas XI memerankan prosesi pernikahan adat bugis.
Para peserta didik dibagi ke dalam 9 tim. Setiap tim memerankan tahapan-tahapan pernikahan adat bugis, dengan bahasa bugis pula. Berlangsung di halaman sekolah dengan mendirikan tenda pengantin yang dihias dengan dekorasi layaknya pengantin.
Tim pertama diawali dengan tahap mammanu-manu, diartikan sebagai aktivitas yang hampir serupa dengan terbangnya seekor burung. Pada fase ini, pihak keluarga dari calon mempelai pria akan berusaha mencarikan jodoh terbaik bagi anak mereka dengan memperhatikan sejumlah kriteria.
Apabila sudah berhasil menemukan target yang sesuai, maka tahap selanjutnya adalah menyelidiki latar belakang dari gadis yang dituju untuk mengetahui dengan jelas apakah wanita tersebut bisa dipinang atau tidak.
Tim kedua memerankan peran tahap kedua yakni Massuro atau Madduta, adalah lamaran keluarga dari pihak laki-laki dengan mengutus orang yang paling dipercaya sebagai mabbaja laleng atau perintis jalan. Juru bicara yang ditunjuk haruslah memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal negosiasi. Biasanya terdapat proses 'tawar-menawar tentang besarnya uang panai.
Tahap ketiga adalah Mappettu Ada, prosesi ini dilakukan setelah prosesi lamaran dilakukan. Pada prosesi ini saatnya menentukan menentukan faura esso (tanggal pelaksanaan pernikahan), sompa (mahar), dan doi menre (uang belanja).
Lalu tim keempat memerankan prosesi Mappanre Temme. Mappanre berarti memberi makan, sementara Temme adalah tamat. Tradisi mappanre temme ini berhubungan langsung dengan orang yang tamat mengaji atau khatam Al-Qur'an.
Tahap kelima adalah Mappacci yang dilakukan pada malam hari setelah Mappanre Temme. Ritual ini memiliki makna bahwa kedua calon pengantin perlu disucikan jiwa dan raganya dari segala keburukan yang pernah dilakukan.
Diawali dengan penjemputan kedua calon mempelai lalu dibawa ke atas pelaminan yang sudah dipenuhi deretan perlengkapan ritual, mulai dari bantal, sarung, daun nangka, daun pisang, sepiring padi, lilin, daun pacci, dan bekkeng atau tempat logam. Kemudian, setiap kerabat dan tamu yang hadir harus mengusapkan pacci ke telapak tangan calon pengantin
Tahapan keenam yakni Mappasilli. Mereka melakukan prosesi siraman. Tujuan dari ritual ini untuk membersihkan diri calon pengantin sekaligus menolak bala dari segala malapetaka yang tidak diinginkan. Air siraman mappasili diambil secara langsung melalui tujuh sumber mata air yang juga berisi tujuh macam bunga.
Ada pula taburan koin yang dimasukkan ke dalam air mappasili. Usai prosesi siraman, air berisi koin tersebut kemudian diperebutkan oleh para tamu yang belum menikah. Sebagian orang Bugis percaya bahwa mereka yang berhasil mendapatkan koin akan dimudahkan jalannya untuk mendapatkan jodoh.
Tim ketujuh memerankan prosesi Mappenre Botting atau Madduppa Botting, adalah prosesi pengantaran mempelai pria ke rumah sang mempelai wanita dengan iring-iringan tanpa kehadiran orang tua. Terdapat pula ritual penyambutan kedatangan mempelai pria (madduppa boting) yang dilakukan oleh dua orang remaja perempuan dan laki-laki, wakil orang tua dari mempelai perempuan, dan seorang penebar wenno.
Lalu tahap ke delapan adalah Mappasikarawa. Setelah akad nikah, sang mempelai pria akan dituntun untuk menuju kamar pribadi pengantin guna menemui istri yang telah dipinangnya. Tradisi ini diawali dengan proses mengetuk pintu sebagai bentuk permintaan izin untuk memasuki kamar.
Momen pertemuan dari kedua mempelai inilah yang nantinya akan menjadi puncak dari ritual mappasikarawa. Pertama-tama, pasangan mempelai melakukan sentuhan pertama dengan status yang sah sebagai suami istri, sentuhan lembut itu dimulai dari area pundak yang menyimbolkan kesetaraan dalam biduk rumah tangga, kemudian diteruskan ke area ubun-ubun, dada, atau perut.
Setelah itu, kedua mempelai akan dipakaikan sarung yang telah dijahit dengan maksud agar kehidupan pernikahan mereka senantiasa terjaga. Acara pun dilanjutkan dengan prosesi sungkem kepada pihak orang tua atau orang yang dituakan.
Sementara tahap terakhir yang diperankan tim sembilan adalah tahap Mapparola. Ini adalah kunjungan balasan dari mempelai wanita pihak mempelai laki-laki. Ia mengunjungi keluarga suaminya seraya membawa sarung tenun sebagai bentuk hadiah pernikahan bersama iring-iringannya.
Kepala UPTD SMAN 1 Sinjai, Muh. Suardi mengatakan, kegiatan gelar karya P5 merupakan suatu keharusan karena masuk dalam kurikulum merdeka. Setiap tingkatan pun memiliki tema berbeda. Untuk gelar karya P5 kali ini, tema yang diambil untuk kelas X adalah kewirausahaan. Mereka akan menjajakan produk makanan lokal Sinjai.
Sementara kelas XI bertemakan kearifan lokal dengan mempraktikkan pernikahan adat bugis. Sehingga dia berharap agar siswa bisa menjadi profil pelajar Pancasila. "Misalnya kearifan lokal dengan memahami hukum-hukum atau adat istiadat yang merupakan warisan leluhur kita," bebernya.
Gelar karya P5 ini berlangsung meriah. Dihadiri oleh pengawas SMAN 1 Sinjai, alumni SMAN 277 Sinjai, tokoh masyarakat, beberapa kepala sekolah satuan SMA, jajaran SMAN 1 Sinjai beserta siswa. (sir)