FAJAR.CO.ID -- Kualitas udara di DKI Jakarta pada Sabtu pagi terpantau dalam kategori tidak sehat, berdasarkan data dari situs pemantau kualitas udara IQAir. Pada pukul 05.30 WIB, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta mencapai angka 180, dengan konsentrasi partikel halus (PM2.5) sebesar 19,4 mikrogram per meter kubik.
Angka ini setara dengan 97 kali nilai panduan kualitas udara tahunan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut IQAir, Jakarta tercatat sebagai kota dengan kualitas udara peringkat keempat terburuk di dunia pada hari itu.
Kota-kota dengan kualitas udara lebih buruk termasuk Baghdad, Irak (AQI 271), Kinshasa, Kongo (AQI 254), dan Delhi, India (AQI 244).
Selain Jakarta, beberapa kota besar lainnya di Indonesia juga menunjukkan kualitas udara yang tidak sehat, seperti Tangerang Selatan (Banten) dengan AQI 178 dan Surabaya (Jawa Timur) dengan AQI 167.
Masyarakat di daerah-daerah ini disarankan untuk menghindari aktivitas luar ruangan, menggunakan masker saat berada di luar, dan menutup jendela untuk menghindari masuknya udara kotor.
Sistem Informasi Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta mengkonfirmasi bahwa kualitas udara di Jakarta bervariasi dari sedang hingga tidak sehat.
Di lima lokasi yang dipantau, dua lokasi menunjukkan kualitas udara tidak sehat (Lubang Buaya dan Kelapa Gading dengan AQI 104 dan 105), sementara tiga lokasi lainnya berada dalam kategori sedang (Kebon Jeruk, Bundaran HI, dan Jagakarsa dengan AQI masing-masing 98, 93, dan 74).
Kategori sedang menunjukkan bahwa kualitas udara tidak berpengaruh signifikan terhadap kesehatan manusia atau hewan tetapi dapat mempengaruhi tumbuhan yang sensitif.
Sebaliknya, kategori tidak sehat berarti kualitas udara dapat merugikan manusia atau kelompok hewan yang sensitif serta dapat menimbulkan kerusakan pada tumbuhan atau nilai estetika lingkungan.
BMKG menyatakan bahwa Jakarta memasuki musim kemarau mulai Mei dan diprediksi mencapai puncaknya pada Juni 2024, yang berpotensi memperburuk polusi udara.
Koordinator Sub Bidang Informatif Gas Rumah Kaca BMKG, Albert Nahas, menjelaskan bahwa fenomena iklim global seperti El Nino, La Nina, dan Dipole Mode Positif/Negatif mempengaruhi konsentrasi polutan di Indonesia, termasuk di Jakarta. La Nina, misalnya, dapat meningkatkan konsentrasi PM2.5 terutama pada malam hingga pagi hari.
Albert menegaskan bahwa fenomena iklim global dapat mempengaruhi kondisi iklim di Indonesia yang berdampak pada konsentrasi PM2.5, sehingga masyarakat harus lebih waspada terhadap kondisi kualitas udara terutama selama musim kemarau ini.(*)