Mendobrak Anggapan Kuliah Kebutuhan Tersier: Kisah Anak Buruh Tani Asal Bone yang Banting Tulang untuk Pendidikan Tinggi

  • Bagikan
Ilustrasi buruh tani. (Foto: Unsplash)

FAJAR.CO.ID,MAKASSAR — Amar yakin dengan berkuliah bisa mengubah nasib keluarganya. Namun mengenyam pendidikan tinggi tidaklah mudah dan murah, sebagai anak dari orang tua buruh tani, ia mesti banting tulang membiayai kuliahnya. Menjadi buruh pabrik, buruh tani, hingga kernek mobil.

Nama lengkapnya adalah Amarsandi Kusuma, umurnya 18 tahun. Anak pertama dari dua bersaudara.

Amar kini berkuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, semester dua. Ayahnya, Hartoni, 48 tahun, dan ibunya, Nurma, 39 tahun, merupakan buruh tani jagung. Perekonomian keluarga mereka bertumpu pada upah sebagai buruh tani.

“Saya orang satu-satunya di keluarga yang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan,” kata Amar kepada fajar.co.id, akhir Mei kemarin.

Tak heran, keluarga besarnya yang mayoritas buruh tani, tak bisa membiayai kuliah anaknya hingga pendidingan tinggi. Sebagai contoh orang tua Amar.

Pendapatan mereka bekerja keras sebagai buruh tani dari pagi hingga sore hari, jauh dari kesanggupan membayar biaya kuliah Amar. Mereka hanya mendapat upah dua kali setahun, atau tiap panen tiba.

Jagung lazimnya dipanen dua kali setahun. Sekali panen, orang tua amar mendapat upah Rp2 juta. Artinya, setahun mereka hanya mendapat pemasukan Rp4 juta.

Sementara Uang Kuliah Tanggal (UKT) Amar, sebesar Rp1.880.000. Jika dihitung dua semester per tahun, artinya Rp3.600.000.

“Sedangkan mereka (orang tua) juga butuh biaya rumah tangga yang lainnya,” ucap Amar.

Amar menentang pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbudristek , Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyebut kuliah sebagai kebutuhan tersier. Menurutnya, itu hanya mengucilkan hati orang dengan ekonomi rendah.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan