Terkikisnya Keadilan Akademik

  • Bagikan
Dr Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI dan Ketua Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa)

Satu, dinegeri ini siapapun tidak dibenarkan memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah. Bila berbeda, ia dianggap oposan. Dianggap penghalang.

Dua, orang yang berbeda pandangan harus dibungkam. Bungkamnya dengan cara macam-macam. Yang paling efektif ya dengan kekuasaan. Untuk membungkam, supervisor dijadikan pion. Ia bertugas mendegradasi dan mendepak siapapun yang tak sejalan. Copot jabatannya, jangan beri peran, tahan angka kreditnya dan bila perlu turunkan pangkatnya atau mutasi.

Apapun posisinya, tidak menjadi penting. Jangankan dosen biasa, profesorpun silakan didepak. Ini sekaligus mengisyaratkan sifat dorman pemerintah : mereka tidak butuh orang pintar apalagi yang kritis. Mereka butuh orang patuh.

Professor itu status pendidikan paling tinggi. Status kredibel dan terhormat. Berkeringat dan ‘berdarah-darah’ mencapainya. Karena status yang sangat priviledge ini, narasi yang dikemukakan seorang Professor tentu tidak kaleng-kaleng. Ketika berpendapat, tentu didasari basis kuat dan rasional. Basis evidence.

Guru besar jelas memiliki pengalaman dan pengetahuan luas dibidangnya. Saran mereka sering kali didasarkan pada pemahaman mendalam dan penelitian komprehensif. Mereka sering memberikan sudut pandang baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Berpikir out of the box; bukan terbatas ditembok. Perspektif mereka membantu memahami masalah dari berbagai sisi dan menemukan solusi lebih komprehensif.

Apalagi dengan status Prof Budi Santoso yang merupakan ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia. Tentu narasi yang muncul darinya adalah bernas dan bertanggung jawab. Bukan sachetan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan