Syamsul Bahcrie adalah mantan dekan Fakultas Hukum, suatu jabatan penting di tingkat Fakultas. Beliau juga pernah menjadi direktur Pasca Sarjana Unhas dan terakhir sebelum purna bhakti, beliau menjadi wakil ketua Majelis Wali Amanat Unhas. Jabatan-jabatan itu menjadi pertanda, bahwa beliau lelaki dengan segenap kesibukan yang luar biasa, tetapi tak pernah lupa pada kewajiban utamanya, mengajar dan mentranformasikan ilmu pengetahuan pada mahasiswa.
Sebagai sebuah upacara perpisahan, Pidato purna bhaktinya cukup penting bagi saya, sebab sebagai ahli hukum tata Negara, sang professor menyinggung tema penting yakni Pengadilan Konstitusi dan Konstitusionalisme di Tengah Dinamika Politik. Pidato ini penting, sebab MK adalah pengadilan konstitusi, yang oleh Syamsul Bachrie, tidak saja mengadili teks UUD, tetapi lebih jauh dari itu, dasar-dasar konstitusionalisme menjadi incarannya.
Syamsul Bachrie memulai pidato itu dengan kalimat pembuka dan rasa hormat kepada semua pihak, sebelum ia merambah pada substansinya. Menurutnya, Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD NRI tahun 1945, MK sebagai lembaga peradilan konstitusi tidak berdiri dalam ruang hampa sosial dan politik. MK selalu berada dalam relasi yang bersinggungan dengan kekuasaan. Guru besar Fakulas Hukum ini menegaskan bahwa MK diberi perkakas, yakni empat kewenangan dan satu kewajiban.
Pertama, Kewenangan Menguji Konstitusionalitas UU terhadap UUD NRI tahun 1945. Kewenangan ini merupakan kewenangan yang memiliki relasi politis dengan DPR dan Presiden.