Pasal 20 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 menyebutkan, bahwa; “Setiap rancangan undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Itu artinya, produk legislasi DPR dan Presiden adalah konsensus politik. Sebagai keputusan politik, jika punya celah, warga negara yang merasa dirugikan akibat konsensus itu harus mengambil langkah hukum yakni menggugat ke MK.
Dengan demikian, MK akan mengadili produk politik DPR dan Presiden, yang tidak lain adalah kamar kekuasaan tersendiri dalam lingkup cabang kekuasaan trias politica. Dalam konteks ini, relasi kuasa antara tiga institusi ini akan akan menjadi pertanyaan publik, sebab bisa muncul pertanyaan, akankah putusan MK dalam mengadili UU terhadap UUD NRI tahun 1945 bisa imparsial?.
Pada sisi yang lain, rekruitmen hakim konstitusi juga berasal dari institusi politik. Pasal 24C ayat (3) UUD NRI tahun 1945 menegaskan bahwa: “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. Dari sisi unsur hakim, juga terdapat aktor yang diusulkan oleh lembaga politik, yakni DPR dan Presiden.
Dengan nada skeptis, sang Profesor mengatakan, bahwa relasi kuasa antara MK dengan kekuasaan politik menjadi tidak terhindarkan, sehingga bia mempengaruhi imparsialitas dan independensi hakim konstitusi.
Untuk itu, Ia mengusulkan, agar pengisian jabatan hakim konstitusi harus dijauhkan dari anasir-anasir politik. UUD NRI tahun 1945 khususnya pasal 24C ayat (3) harus diubah dengan menghilangkan unsur kekuasaan politik di dalamnya, yakni DPR dan Presiden.