Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Bagi Syamsul Bachrie, dalam kewenangan ini, terdapat dua lanskap yang tidak dapat dihindari, yakni relasi hukum dan politik. Kewenangan antar lembaga negara berada dalam lanskap hukum administratif, sementara pada sisi yang lain, lembaga-lembaga negara ini sebagian besarnya di-isi dengan jabatan politik. Misalnya jabatan menteri negara, di-isi dengan mekanisme politik, sebab Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa; Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, dan Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Disamping itu, terdapat pula lembaga-lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh Konstitusi.
Relasi kuasa kewenangan MK dengan institusi lain dalam “sengketa kewenangan” akan mengalami dinamika yang cukup penting secara politis. Atas dasar argumen itu, maka MK harus benar-benar sebagai penengah yang netral untuk menafsir makna konstitusi. Hakim MK harus memahami, bahwa UUD NRI tahun 1945 yang tertulis adalah statis, dan ia harus menggunakan pendekatan konstitusionalisme, agar makna konstitusi yang substantif bisa digali. Sebab itu, hakim MK haruslah manusia “setengah dewa” yang memahami denyut nadi konstitusi.
Ketiga, Kewenangan lain MK adalah memutus pembubaran partai politik. “Partai politik adalah institusi pure politik. Dengan demikian, pembubaran partai politik akan meningkatkan intensi politik para pihak terhadap MK”, demikian sang profesor menguraikan.