FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pajak hiburan malam di kota Makassar diturunkan. Kebijakan itu berlaku untuk usaha bar, diskotek, karaoke, panti pijat, dan spa.
Itu setelah Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar mulai mengimplementasi kebijakan pemberian insentif fiskal kepada pelaku usaha hiburan di Makassar.
Kepala Bidang Pajak Daerah Bapenda Kota Makassar Muhammad Ambar Sallatu mengatakan pembayaran pajak hiburan malam kini tergantung omset. Tidak lagi berpatokan pada 75 persen.
"Tergantung kondisi omset yang dia laporkan. Dari nilai pajak 75 persen itu di berikan pengurangan tergantung nilai omset yang dia laporan," kata Muhammad Ambar Sallatu dalam keterangannya, Kamis (17/7/2024).
Ambar menjelaskan pengurangan nilai pajak hiburan ini dari hasil kajian yang menghasilkan 2 produk hukum sesuai Perwali Nomor 13 tahun 2024 terkait dengan pemberian insentif fisikal.
"Klub malam, bar itu 46,67 % dari pengurangan dari surat pemberitahuan pajak daerah SPTPD. Pub, rumah minum dan sejenisnya seperti diskotik juga pengurangan 46.67 % dari SPTPD dari omset yang dia laporkan," jelasnya.
"Karoke eksekutif penurunan sebesar 12.50 % dari SPTPD yang di laporkan, kemudian karoke keluarga di berikan stimulan 37.50 % dari nilai pajak yang di laporkan sama dengan panti pijat dan spa," paparnya.
Sebelumnya Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan (Sulsel) meminta pajak hiburan malam di Makassar diturunkan jadi 10 persen. Dari 75 persen di aturan terbaru.
Itu diungkapkan Ketua PHRI Sulsel Anggiat Sinaga. Ia mengungkapkan, dalam Undang-Undang, amanatnya pajak hiburan malam 40 sampai 75 persen.
Namun jangankan 75 persen, seperti yang berlaku saat ini di Makassar. 40 persen saja kata dia sudah sangat berat.
“40 persen juga memberatkan, kembalikan saja 10 persen,” kata Anggiat kepada wartawan di Balai Kota Makassar, usai audiensi dengan Wali Kota Makassar Danny Pomanto, Rabu (24/1/2024).
Ia mencontohkan. Jika pajaknya 40 persen.
“40 persen tidak mungkin, 100 rupiah kita dapat uang ,40 rupiah sudah masuk, 60 rupiah bagaimana bisa hidup. Bayar Pajak Bumi Bangunan lagi, tidak bisa,” paparnya.
Sebelum naik 75 persen, kata Anggiat, pajak hiburan malam 25 persen. Itu saja, katanya sudah buat pengusaha ngos-ngosan.
Pengamat Ekonomi Prof Marzuki mengungkapkan, penolakan itu wajar. Mengingat kenaikan yang tak wajar.
Menurutnya, kenaikan pajak hiburan malam dari 25 persen ke 75 persen memberatkan pengusaha. Juga masyarakat sebagai konsumen.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin itu mengungkapkan. Jika pemerintah ingin menambah pendapatan dari pajak, tidak mesti menaikkan pajak hiburan malam ke titik maksimal.
“Seharusnya menetapkan aturan pajak terhadap potensi dari sumber-sumber pajak lain yang belum tersentuh atau yang bebannya pajaknya dianggap masih rendah,” kata Marzuki kepada fajar.co.id, Jumat (26/1/2024).
Hal lain yang bisa dilakukan. Mengevaluasi sistem pajak yang berjalan selama ini.
“Yang mungkin sudah harus tidak terlalu mengandalkan sistem self asessemen lagi untuk beberapa jenis pajak yang dianggap potensial bisa ditingkatkan penarikannya,” ujarnya.
Misalnya, kata Marzuki, memastikan tidak adanya kebocoran dalam penarikan pajak.
(Arya/Fajar)