Permintaan Maaf Jokowi Dinilai Bentuk Keterusterangan dan Autokritik atas Kinerja 10 Tahun

  • Bagikan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato kenegaraan di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Prof. Asrinaldi, menilai bahwa permintaan maaf yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada Sidang Tahunan 2024 merupakan bentuk keterusterangan mengenai kinerjanya selama masa kepemimpinannya.

“Ini memang bentuk keterusterangan Presiden. Kita dapat melihat kepemimpinan seorang Presiden dari janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye. Ada yang dilaksanakan dan mengarah pada tujuan yang diinginkan, tetapi ada juga yang belum terlaksana,” ujar Asrinaldi saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat.

Menurut Asrinaldi, permintaan maaf tersebut juga mencerminkan autokritik Jokowi atas pencapaian dan kekurangan selama ini. Ia menilai, wajar jika Presiden memulai pidatonya dengan memaparkan pencapaian yang telah diraih, lalu menutupnya dengan permintaan maaf.

“Sebagai Presiden, saya pikir ada keterusterangan dan sportivitas dalam permintaan maaf ini. Tidak masalah, tapi bagaimana masyarakat menilai itu, tentu tergantung pada masyarakat,” lanjut Asrinaldi.

Ia juga mengakui bahwa 10 tahun masa kepemimpinan Jokowi tidak terlepas dari berbagai plus dan minus. Oleh karena itu, reaksi masyarakat terhadap permintaan maaf ini menjadi hal yang penting untuk dicermati.

“Kita tunggu bagaimana reaksi masyarakat terhadap pidato beliau ini. Ada banyak kritik yang kita dengar, terutama dari mereka yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Jokowi,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam pidatonya, Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas segala kekecewaan dan harapan yang belum dapat terwujud.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan