Resistensi Responden: Sisi Lain dari Kebijakan Berbasis Data

  • Bagikan
BPS

OLEH: Andi Alfitra Putra Fadila

RESISTENSI responden merujuk pada kondisi ketika responden pendataan merasa jenuh memberikan data yang biasanya disebabkan pendataan berulang kepada individu/rumah tangga yang sama.

Masalahnya, belakangan ini pemerintah juga sedang gencar menekankan pentingnya peran data dalam pembangunan. Pemerintah seolah lupa bahwa setiap kali pemerintah berinisiatif melakukan pendataan, masyarakat juga dituntut untuk memberikan partisipasi aktifnya minimal dalam bentuk menjawab pertanyaan petugas pendataan.

Harus ada proses wawancara selama 1-2 jam antara si petugas dan responden yang membutuhkan keluangan waktu dari responden terpilih. Mungkin tidak akan ada masalah jika wawancara dilakukan cukup sekali.

Namun, seiring meningkatnya frekuensi kegiatan pendataan, masyarakat pun semakin sering menghadapi petugas lapangan. Pada titik tertentu muncul kejenuhan menghadapi proses wawancara.

Karena hal ini, sebagai insan statistik yang bertugas di lapangan, saya rasa penting untuk membahas masalah resistensi responden ini pada skala yang lebih besar.

Kegiatan pendataan yang semakin menumpuk

Semakin gencarnya kampanye pentingnya data, jumlah kegiatan pendataan juga meningkat pesat. Di Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri, pada tahun 2023 lalu terdapat 2 kegiatan besar yang berbasis sensus: Sensus Pertanian 2023 dan Pendataan Lengkap Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PL-KUMKM) 2023.
Kedua pendataan ini sama-sama menuntut pendataan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Padahal, menilik rentang waktu 3 tahun sebelum itu, BPS juga baru saja selesai melaksanakan 2 kegiatan berbasis sensus: Sensus Penduduk 2020 dan Registrasi Sosial Ekonomi (REGSOSEK) 2022.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan