FAJAR.ID, MAKASSAR — Wacana presiden terpilih Prabowo Subianto menambah pos kementerian menjadi 46 disoroti dalam aspek ekonomi. Ekonom memperingatkan kekuatan fiskal negara yang terbatas.
“Di situlah masalahnya, persoalan di sisi APBN yang utama dari sisi ekonomi mengingat kondisi fiskal yang cukup terbatas,” kata Pakar Ekonomi Universitas Hasanuddin, Prof Marzuki kepada fajar.co.id, Minggu (13/10/2024).
Ia memberi gambaran hitungan kekuatan fiskal negara saat ini. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2025 yang telah disepakati diketahui Rp3.621,3 triliun.
Sementara kewajiban negara yang mesti dibayarkan tak sedikit. Misalnya beban utang dan transfer ke daerah.
“Pembayaran beban utang dari pokok dan bunganya besar, sekitar Rp1000 triliun, kemudian anggaran untuk transfer ke daerah, sekitar Rp1200 triliun, ditambah anggaran program baru makan gratis, hampir Rp400 triliun,” jelasnya.
Jika dihitung, kata dia, maka sisa anggaran sangat minim. Hanya sekitar 1.000 triliun. Padahal dari sisa itu sudah ada pos anggaran yang telah disepakati antara legislatif dan eksekutif.
“Sehingga anggran belanja tersisa dari Rp3.600 triliun hanya sekitar Rp1.000 triliun. Pertanyannya, gimana membelanjai segala macam anggaran yang sudah disepakati dengan DPR,” terangnya.
Karenanya, ia menanyakan apakah anggaran segitu bisa dioptimalkan untuk kementerian sebanyak yang diwacanakan. Yakni 46 Kementerian.
“Artinya, apa yang bisa diharapkan dengan sisa anggaran dalam jumlah terbatas tersebut, apalagi untuk melakukan perubahan-perubahan yang besar sesuai rencana-rencana program kerja pemerintahan yang baru,” ujarnya.