Silaturahmi Kebangsaan, Prof Jimly: Jangan Ada Lagi Pembubaran Preman

  • Bagikan
Prof Jimly Asshiddiqie. Foto: Ricardo/JPNN.com

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, menegaskan pentingnya memberi ruang bagi kegiatan seperti Silaturahmi Kebangsaan, yang digagas oleh Faizal Assegaf dan rekan-rekannya pada 14 Oktober mendatang.

Prof. Jimly berpendapat bahwa aksi-aksi damai, termasuk demonstrasi menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden, harus diizinkan oleh pihak kepolisian.

"Forum begini termasuk kalau nanti jadi demo jalanan menuju pelantikan presiden dan wakil presiden, polisi harus beri kesempatan, biar aja," ujar Jimly dalam keterangannya di aplikasi X @JimlyAs (12/10/2024).

Ia juga mengingatkan agar tidak ada lagi tindakan represif seperti pembubaran oleh preman, merujuk pada insiden sebelumnya terkait diskusi di sebuah hotel beberapa waktu lalu. "Jangan ada lagi pmbubaran preman seperti diskusi di hotel tempo hari," cetusnya.

Menurutnya, kepolisian harus waspada terhadap pelanggaran oleh oknum petugas yang dapat merusak suasana kondusif. "Harus waspada, jika ada ptugas yang mlanggar, harus ditindak agar Oktober lancar," tandasnya.

Sebelumnya, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, memberikan pernyataan tegas terkait upaya membawa keluarga Presiden Jokowi ke meja hijau.

Ia mengungkapkan bahwa Faizal Assegaf telah menghubunginya untuk mengonsolidasikan langkah hukum ini. Menurut Abraham, upaya ini perlu dilakukan dengan tekad kuat untuk memastikan keadilan ditegakkan.

"Saya bilang sama bung Faizal, besok kalau acara ini tiba-tiba diintervensi oleh polisi atau preman dan kemudian meminta acara ini dibubarkan seperti kemarin, maka bilang sama mereka bahwa kita tidak akan pernah mau bubar," ujar Abraham dalam keterangannya dikutip dari unggahan akun tiktok @cak.khum (4/10/2024).

Abraham menyebutkan, saat tragedi di Kemang, ia hadir meski terlambat. "Kebetulan kemarin waktu tragedi di Kemang, saya juga datang. Walaupun saya terlambat," ucapnya.

Abraham menggambarkan kejadian di Kemang, di mana para preman yang hadir dibayar, bahkan disaksikan oleh polisi. "Dan saya melihat waktu selesai para preman itu dibagi-bagikan duit dan di situ ada polisi," tukasnya.

Ia menyaksikan bagaimana acara tersebut dihentikan setelah polisi datang, dan ia menyayangkan bahwa pemilik lokasi acara memilih untuk menyerah pada tekanan.
"Acara terus dilanjutkan, kita lawan. Terus terang kemarin saya kecewa sekali di Kemang, ternyata yang punya hotel itu penakut," sebutnya.

"Ketika polisi datang dan disuruh menghentikan acara, acara itu dihentikan. Itulah yang terjadi kemarin," sambung dia.

Menurut Abraham, tidak ada alasan untuk menghentikan acara jika pemilik tempat tetap mengizinkan acara berlangsung.

"Padahal sebenarnya menurut saya, tidak perlu dihentikan, kalau pemilik ruangan itu tetap mengizinkan, kita tetap bisa melanjutkan acara. Tapi mereka takut dan tidak melanjutkan acara," terangnya.

Abraham juga mengkritik mentalitas sebagian orang yang mudah melupakan dan memaafkan kesalahan pemimpin. "Penyakit orang Indonesia itu mudah melupakan, kemudian mudah memaafkan," imbuhnya.

Ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa setelah Jokowi meninggalkan jabatannya pada 20 Oktober, publik bisa saja melupakan tindakan yang dianggapnya sebagai kejahatan.

"Oleh karena itu, saya khawatir bahwa setelah tanggal 20 nanti ternyata kita semua yang ada di ruangan ini, tiba-tiba lupa terhadap kejahatan yang dilakukan Jokowi," jelasnya.

Abraham mengajak semua orang yang hadir dalam ruangan untuk tetap konsisten dan tidak melupakan kejahatan yang dilakukan Jokowi setelah ia turun dari jabatan.

"Kita berkomitmen di ruangan ini, harus konsisten, setelah Jokowi berhenti, dua atau tiga hari setelah itu, kita harus ramai-ramai datang ke KPK atau Kepolisian mengingatkan aparat penegak hukum agar segera melakukan penyelidikan terhadap keluarga Mulyono," tegasnya.

Pria kelahiran kota daeng ini bilang, jika keluarga Mulyono tidak diadili, hal itu akan menjadi contoh buruk bagi pemerintahan selanjutnya. "Kalau keluarga Mulyono tidak diadili, maka saya sangat yakin bahwa Presiden selanjutnya akan melakukan pelanggaran hukum seperti yang dilakukan Jokowi," kuncinya. (Muhsin/fajar)

Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan