RJ Harus Jelas Tujuan Hukumnya, Prof Amir Singgung Kecelakaan Maut Owner Pallubasa Serigala

  • Bagikan
Pengamat Hukum dan Politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Amir Ilyas

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Pencabutan status tersangka pemilik warung makan Pallubasa Serigala berinisial Al Qadri Chaeruddin (36), dalam kasus kecelakaan yang menewaskan istri dan anaknya di Tol Layang, Jl A.P Pettarani, Makassar, munculkan pro kontra di tengah masyarakat.

Banyak yang setuju kasus itu dihentikan polisi atas dasar peradilan restoratif justice (RJ). Namun, tidak sedikit juga yang menentangkan lantaran harus ada kepastian hukum yang ditegakkan.

Pakar Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Amir Ilyas menjelaskan, diskursus yang pertama kali muncul jika ada kasus seperti kecelakaan lalu lintas adalah terkait dengan tujuan hukum yang mana ingin dicapai dalam penyelesaian perkara. Apakah lebih mengutamakan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukumnya.

Menurutnya, jika berbicara dalam konteks kepastian hukumnya, maka sudah seharusnya pelaku dalam kasus ini yaitu Qadri diteruskan perkaranya di pengadilan, hingga divonis dengan berdasarkan aturan yang berlaku.

Bisa Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian, ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun) atau Pasal 310 ayat 4 UU No. 22/2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00).

"Itu dari segi kepastian hukumnya," uar Prof Amir Ilyas kepada FAJAR, Senin, 14 Oktober 2024.

Namun begitu, lanjut guru besar bidang ilmu hukum pidana ini, jika mengutamakan kemanfaatan dan keadilannya, maka lebih baik pelaku dihentikan perkaranya.

"Sebab mengapa? pelaku dianggap sudah kehilangan anak dan istrinya, sudah berduka, bahkan mungkin sekarang mengalami kecemasan, depresi, malah mau ditambah lagi bebannya dengan menjalani pemidanaan," bebernya.

"Soal tujuan hukum dalam sisi keadilan inilah yang sebenarnya menyebabkan muncul penyelesaian perkara dengan mekanisme keadilan restoratif, karena jauh lebih mengutamakan keadilan daripada kepastian hukumnya. Keadilan bukan hanya untuk si korban tetapi secara timbal balik juga untuk pelaku," tambah dia.

Untuk itu, bagi Prof Amir Ilyas, pencabutan penetapan tersangka terhadap Qadri sebenarnya sudah tepat kalau dengan berdasarkan Perpol Nomor 8/2021 sebagaimana diatur dalam Pasal 10 yang pada pokoknya mengatur syarat khusus untuk tindak pidana kecelakaan lalu lintas karena kelalaian yang mengakibatkan korban manusia, dapat diselesaikan dengan melalui mekanisme keadilan restoratif.

Dimana keluarga korban memaafkan, menjadi alasan dapat dihentikannya perkara dengan melalui penerbitan SP3.

"Dan pun kalau kasus yang begini masuk di pengadilan, saya berkeyakinan, mungkin saja kasusnya akan terbukti Pasal 359 KUHP atau Pasal 310 ayat 4 UU LLAJ, tapi majelis hakimnya kemungkinan besarnya akan menjatuhkan pidana penjara bersyarat (percobaan). Si pelaku divonis penjara misalnya 1 tahun, namun tidak perlu ia jalani di Lapas," tandasnya.

Terlepas dari itu semua, menurut Prof Amir Ilyas, negara sebenarnya masih butuh UU yang khusus mengatur mengenai penyelesaian perkara dengan mekanisme RJ, atau setidak-tidaknya bisa dicantolkan dalam revisi kUHAP nanti.

Pasalnya, kata dia, hingga saat ini penyelesaian perkara dengan mekanisme RJ, hanya dalam bentuk peraturan pelaksanaan baik ditingkat kepolisian, kejaksaan maupun di pengadilan.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasaran Keadilan Restoratif, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

"Itupun diantara peraturan ini, ada perlakuan yang berbeda dalam penanganannya. Misalnya di Perja dan Perma, batas untuk penanganan RJ, tidak boleh tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya 5 tahun. Sementara dalam Perpol, tidak ada batasan yang demikian," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, setelah melewati proses restoratif Justice, status tersangka owner Pallubasa Serigala Al Qadri Chaeruddin (36) dicabut pihak Kepolisian.

Hal ini diungkapkan Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Mokhamad Ngajib saat menggelar ekspose kasus, Senin (14/10/2024).

"Berdasarkan perkembangan perkara, penanganan tindak pidana diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif Justice," ujar Ngajib kepada awak media.

Dijelaskan Ngajib, saat dilakukan RJ terdapat surat kesepakatan perdamaian antara Qadri dan keluarga istrinya.

"Dari persyaratan ini, kemudian juga persyaratan khusus pada pasal 10 yaitu terjadi kecelakaan karena kelalaian yang mengakibatkan korban," kata Ngajib.

"Ini juga merupakan persyaratan penyelesaian secara kekeluargaan atau disebut keadilan restoratif Justice," sambung dia.

Tambah Ngajib, setelah menempuh jalur RJ, pihaknya pun melakukan penghentian terhadap kasus yang menelan dua korban jiwa itu.

"Jadi, proses penanganan perkara membuat suatu peristiwa, sehingga tentunya kepolisian mempunyai kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Setelah kita lakukan proses penyidikan dan penyelidikan, kita lakukan penetapan tersangka," tukasnya.

Setelah penetapan tersangka, kata Ngajib, pihak dari korban dan tersangka meminta agar diselesaikan secara restoratif.

"Sehingga tentunya yang patut kita duga pelaku dan juga dari keluarga korban, di antaranya orang tua daripada korban dan istrinya dan pihak terkait lainnya. Mereka menyatakan bisa di selesaikan secara RJ," terangnya. (Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan