FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Azis Dumpa, menyampaikan kritik keras terkait penghentian status tersangka Prof. Sufirman dalam kasus dugaan penggelapan atau korupsi dana Yayasan Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Penghentian perkara tersebut dilakukan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) setelah tersangka mengembalikan kerugian yayasan.
Abdul Azis menegaskan bahwa kasus ini bukan perkara ringan dan tidak semestinya dihentikan melalui proses RJ.
"Sejak awal perkara begini penggelapan maupun korupsi yang sebenarnya kalau kita lihat ini melibatkan. Kasusnya kasus publik sebenarnya karena dia terjadi di kampus yang menjalankan pendidikan," ujar Abdul Azis kepada awak media, Rabu (16/10/2024).
Dikatakan Abdul Azis, kasus yang menyeret nama Rektor nonaktif UMI itu bukan merupakan tindak pidana ringan yang bisa dihentikan perkaranya.
"Harusnya bisa dilanjutkan apalagi kalau diklaim sebagai RJ karena RJ, itu bukan penghentian perkara, sebetulnya RJ artinya keadilan yang memulihkan atau proses untuk memulihkan bukan untuk menghentikan, itu hal yang berbeda sebenarnya," ucapnya.
Menurutnya, RJ hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus ringan atau delik aduan, bukan untuk kasus dengan skala besar seperti yang terjadi di UMI.
"Pun kalau RJ menghentikan, sebenarnya itu bisa diterapkan sejauh ini untuk perkara yang sifatnya ringan, atau delik aduan," tukasnya.
Abdul Azis juga menyoroti pola penghentian penyidikan yang sering diklaim sebagai RJ, namun menurutnya hal tersebut menyesatkan.