Namun, dia yakin ke depan tata kelola industri pertahanan dan pengadaan alutsista masih perlu dibenahi untuk menjadi lebih baik. Beberapa pembenahan yang menurut dia perlu dilakukan, di antaranya transformasi kelembagaan dan membentuk desain besar (grand design) arsitektur industri pertahanan. Keduanya, dia berpendapat dibutuhkan demi menghimpun kekuatan baik itu industri, lembaga penelitian dan pengembangan, ataupun kampus, sehingga kemampuan memproduksi dan berinovasi itu tidak tercecer.
Di negara-negara seperti Korea Selatan, Turki, Perancis, dan Uni Emirat Arab, ada satu lembaga negara yang memang ditugaskan khusus untuk membangun dan mengonsolidasikan pengadaan alutsista dan alat pertahanan dan keamanan (alpahankam), membangun industri pertahanan dalam negeri, dan menghimpun berbagai inovasi yang dibuat oleh industri dan lembaga lain.
“Terkadang, inovasi sedikit di sana, inovasi sedikit di sini, inovasi itu ada di mana-mana, tetapi tidak terkompilasi dengan baik sehingga kedalaman teknologinya itu kurang, karena sepotong-sepotong,” kata Tazar.
Oleh karena itu perlu ada pemetaan lengkap terhadap potensi industri pertahanan di dalam negeri yang mencakup keseluruhan tingkatan mulai dari tier-1 industri alat utama, tier-2 industri komponen utama, tier-3 industri komponen, dan tier-4 industri bahan baku. Tazar menilai kemandirian industri pertahanan membutuhkan ekosistem yang saling menghubungkan antarkelompok industri itu.
Dalam kesempatan terpisah, ahli pertahanan Curie Maharani Savitri pun setuju perlu ada transformasi kelembagaan, misalnya, dengan membentuk lembaga yang mengorkestrasi pengadaan alutsista dan alpahankam sehingga terintegrasi dengan pengembangan industri pertahanan dalam negeri. Dia menyebut ada beberapa model kelembagaan yang dapat dicontoh oleh Indonesia, misalnya di Inggris lembaga yang mengurusi logistik, pemeliharaan, dan riset disatukan.