FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, angkat suara mengenai kasus seorang guru honorer di Konawe Selatan yang dipenjara karena diduga pukul muridnya.
Mengaku Baru mengetahui kasus tersebut, Jansen meminta agar Jaksa Agung membebaskan guru yang diketahui bernama Supriyani itu.
"Aku baru baca kasus ini. Kalau sudah ditahap penuntutan, tolong Ibu Guru ini dituntut bebas pak Jaksa Agung. Jika tidak, Majelis Hakim bebaskan melalui putusan," ujar Jansen dalam keterangannya di aplikasi X @jansen_jsp (22/10/2024).
Jansen menegaskan bahwa proses hukum yang menimpa guru tersebut tidak pantas dan tidak memenuhi syarat untuk dipidana.
"Jikapun ini dianggap sebuah kasus, kasus ini terkait pendidikan. Bukan pidana. Jadi sejak awal kasus ini tidak pantas dan tidak memenuhi syarat untuk dipidana," ucapnya.
Jansen meyakini bahwa ibu Supriyani tidak memiliki niat untuk bersikap jahat kepada muridnya.
"Saya yakin tidak ada mens rea, niat jahat dari Ibu Guru ini," Jansen menuturkan.
Lebih lanjut, Jansen menekankan bahwa jika pun guru tersebut dianggap melakukan kesalahan, sanksi yang seharusnya diberikan adalah sanksi administratif dan profesi oleh pimpinannya, bukan penjara.
"Jikapun dia salah, beri dan jatuhkan untuk dia sanksi administrasi dan sanksi profesi oleh pimpinannya. Bukan malah dipenjara," tandasnya.
Jansen juga meminta perhatian dari pihak kepolisian, khususnya kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, untuk memberikan perhatian khusus terhadap kasus ini agar dapat diselesaikan secara adil.
"Colek yang terhormat pak Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo," Jansen menyolek akun X Kapolri.
Sebelumnya, penahanan Ibu Supriyani, seorang guru honorer di SDN Baito, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, telah mengguncang dunia pendidikan.
Sosok yang dikenal berdedikasi ini kini menghadapi proses hukum setelah dilaporkan oleh salah satu siswa dengan tuduhan melakukan kekerasan.
Namun, kasus ini ternyata lebih rumit dari yang terlihat, melibatkan kesalahpahaman dan kekuatan hukum yang dianggap tidak seimbang.
Ceritanya bermula ketika seorang siswa melaporkan kepada orang tuanya bahwa dirinya diduga dipukul oleh Ibu Supriyani.
Namun, menurut pihak sekolah, sang guru hanya menegur siswa tersebut tanpa ada kekerasan fisik yang dilakukan.
Menyadari potensi konflik, Ibu Supriyani bersama pihak sekolah segera mencoba menyelesaikan masalah ini dengan meminta maaf kepada orang tua siswa.
Upaya tersebut dilakukan dalam semangat kekeluargaan, berharap permasalahan dapat segera diselesaikan.
Namun, niat baik itu justru menjadi titik balik yang tidak terduga. Orang tua siswa yang ternyata anggota kepolisian menganggap permintaan maaf tersebut sebagai pengakuan atas kesalahan yang tidak pernah terjadi.
Meskipun sudah mencoba menyelesaikan masalah secara damai, proses hukum terus berjalan tanpa sepengetahuan Ibu Supriyani.
Hingga akhirnya, ia dipanggil ke Polda Sulawesi Tenggara untuk memberikan keterangan, dan secara mengejutkan langsung ditahan pada hari itu juga.
Penahanan ini mengejutkan banyak pihak, terutama di kalangan pendidikan. Ibu Supriyani, seorang ibu dengan anak kecil, tiba-tiba harus menghadapi ketidakpastian besar dalam hidupnya.
Bagi banyak pihak, penahanan ini dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap guru yang tengah menjalankan tugasnya.
Mogok Belajar dan Aksi Solidaritas
Tak lama setelah penahanan ini, respons dari kalangan pendidikan pun menguat. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Baito bersama para kepala sekolah TK, SD, dan SMP se-Kecamatan Baito segera mengadakan rapat darurat pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Aula Kantor Koordinator Wilayah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Baito, mereka menyepakati beberapa langkah penting sebagai bentuk dukungan terhadap Ibu Supriyani.
Salah satu langkah paling drastis yang diambil adalah aksi mogok belajar di semua sekolah di Kecamatan Baito.
Dari tingkat TK hingga SMP, seluruh sekolah sepakat untuk menghentikan kegiatan belajar-mengajar mulai Senin, 21 Oktober 2024, hingga ada keputusan resmi terkait penangguhan penahanan Ibu Supriyani.
Aksi ini tidak hanya menjadi bentuk protes, tetapi juga upaya untuk menunjukkan solidaritas terhadap guru yang dianggap mengalami ketidakadilan.
Selain itu, PGRI dan para kepala sekolah memutuskan untuk tidak menerima siswa yang terlibat dalam masalah ini, termasuk siswa yang menjadi saksi.
Keputusan ini menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam mempertahankan martabat dan hak seorang guru di tengah ancaman kriminalisasi.
Tuntutan Pembebasan Ibu Supriyani
Tak berhenti di situ, PGRI juga menuntut agar Ibu Supriyani segera dibebaskan dan dikembalikan ke sekolah.
Mereka menganggap bahwa tindakan penahanan ini tidak hanya merugikan guru tersebut, tetapi juga mencoreng profesi guru secara keseluruhan.
Langkah ini dianggap penting untuk mengembalikan keadilan dan melindungi hak-hak seorang guru yang seharusnya didukung dalam menjalankan tugas mendidik.
Surat resmi pun telah dikeluarkan oleh PGRI Kecamatan Baito dengan Nomor: 420/13/PGRI/10/2024, yang ditujukan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Konawe Selatan, Polres Konawe Selatan, Kejaksaan Negeri Andoolo, hingga kepala desa di seluruh Kecamatan Baito.
Gerakan ini juga mendapatkan dukungan luas di media sosial, dengan munculnya tagar #saveibusupriyani dan #saveguru yang viral di berbagai platform.
Kini, masyarakat Baito dan kalangan pendidikan di Konawe Selatan menanti dengan harapan besar.
Mereka ingin melihat Ibu Supriyani kembali ke sekolah, mendampingi siswa-siswinya, dan mengembalikan kepercayaan bahwa profesi guru tetap dihormati dan dilindungi.
Namun, perjalanan menuju keadilan ini masih panjang. Hingga ada keputusan resmi yang mengakhiri penahanan Ibu Supriyani, aksi solidaritas dan dukungan terhadap guru ini terus menguat, menjadi suara kolektif yang memperjuangkan keadilan di tengah tantangan zaman.
(Muhsin/fajar)