Oleh: Baharuddin Iskandar
(Praktisi Pendidikan)
“Ada hape-ku?”
Percakapan yang bahagia, tiba-tiba berubah. Sang Ibu yang tadi mau mengantar anakdanya kembali ke sekolah asrama, meninggi nada suaranya. “Mau bawa hape?”
“Tidak!” belum sempat terjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri Sang Ibu.
Dalam pikiran, ia memasukkan sekolah asrama agar anakdanya terbebas dari belenggu ponsel. Belunggu game online, scrool medsos, atau youtube. Ponsel seolah penghilang waktu. Waktu sejam menjadi singkat di hitungan menit.
Beginilah fenomena saat ini. Sekolah asrama menjadi pilihan. Ia menjadi layanan, seolah roh pembebas. Masukkan ke sekolah asrama, ponsel tidak ‘menggerogoti lagi.
Kelihatan seperti ini, terjadi kemudian. Aturan yang ketat menyebabkan banyak sekolah asrama, membuat larangan. Dilarang membawa hape ke sekolah! Tata tertib ini ditujukan agar murid terbebas dari pengaruh dunia luar. Bisa-bisa malas belajar, karena asyik dengan ponsel.
Tentu perlu diskusi penjang terkait ponsel digunakan di sekolah asrama. Apakah boleh atau tidak boleh, butuh kajian. Apa kelemahan dan apa kekurangannya?
Jika menafakauri hal ini, tentu menarik dengan pembelajaran-pembelajaran yang saat ini gencar dikreasi. Sahabat Pembatik Sulsel 2024 di Pinrang. Maaf pembatik itu adalah akronim dari pembelajaran berbasis TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Misalnya ia mengatakan bahwa ia menarik minat peserta didik dengan menggunakan hape. Katanya, kelas yang tadinya garing berubah menjadi kelas kayak suporter sepakbola. “Ribut dan lebih mudah diarahkan muridnya,” akunya.
Cerita Sahabat Pembatik Sulsel, 2024 lain lagi. Ia menyampaikan kreasinya di berbagi praktik-nya bahwa youtube bagus untuk pembelajaran. “Bukankah platform ini, melekat dan sangat dekat dengan dunia murid?”
“Ya, tayangan youtube saya kreasi. Berhenti sejenak dan baru bisa lanjut ketika sudah menjawab soal yang diberikan di tayangan itu".
Tentu menarik cerita dan kreasi Sahabat Pembatik lainnya jika disimak. Ada sejumlah catatan menarik. Apalagi Indeks Pembangunan TIK Indonesia (BPS, 2023) dari skala 0-10 baru mencapai 5,85. Makanya, jika TIK dan ponsel masuk dalam pembelajaran maka ada daya dorong.
Pertanyaan sekarang, apakah layanan ponsel atau layanan TIK, cocok atau tidak cocok? Cocok untuk sekolah reguler, dan tidak cocok untuk sekolah asrama. Pertanyaannya ini, tentu ada jawabannya.
Suka atau tidak suka, sekolah asrama sudah harus memikirkan cara, ponsel digunakan oleh murid. Sekolah asrama sudah harus tampil memikirkan bukan lagi mendidik murid, tapi memikirkan pola pikir murid.
Murid milenial atau Murid Y yang lahir tahun 1981 hingga 1996 adalah murid yang yang sudah tidak ada di ruang-ruang kelas. Generasi yang tumbuh bersama TIK telah menjadi guru di dalam kelas.
Lalu murid Z yang lahir tahun 1997 hingga 2012 adalah murid yang tumbuh dengan kondisi TIK sangat maju. Ciri mereka adalah kreatif dan pragmatis dengan teknologi.
Duh, murid alpa yang lahir tahun 2013 sampai sekarang, sudah ada di jenjang sekolah dasar. Murid yang sangat kenal dengan internet ini. Sangat kenal internet dan TIK sejak bayi.
Kelak, kelas-kelas dengan kemampuan di atas rata-rata TIK, berhadapan dengan guru-guru yang melarang menggunakan internet dan ponsel.
Saya kemudian tiba-tiba teringat dengan kisah seorang ibu guru di Kabupaten Barru. Perjanjian kelas-nya, jelas. Dilarang menggunakan ponsel dalam kelas. Kemudian si murid menggunakan ponsel saat pembelajaran berlangsung. Terjadi kemudian, ponsel disita, dan wajib dibawa pulang ke rumah guru. Nanti pertemuan diberikan.
Apa yang terjadi kemudian, si murid ketika pulang membuntuti sang guru. Membuntuti hingga ke rumah. “Bu, hape-ku?”
Jika demikian, lalu apakah ponsel, cocok atau tidak cocok di sekolah asrama. Jawabannya adalah kreasi. Butuh perjuangan ekstra, di zaman saat ini. (*)