Apalagi sebelum pertunjukan, ada ritual yang disebut dengan baca-baca.
“Jelek itu anunya, mantra-mantranya. Terus isi syair dari aru tobarani itu,” ucapnya pada Kamis (31/10/2024).
Ia menjelaskan maksud kata jeleknya. “Pertengkaran yang dia ini. Orang Makassar bilang pabeserang. Seperti itu. Ditambah lagi syair. Syair dari aru tobarani itu perang memang, perang itu teksnya.
Ketua Kampung Budaya Taeng itu memberi contoh penggalan syair dalam aru tobarani menggunakan bahasa Makassar.
Inai-Inaiannamo Sallang, Karaeng Tamappattojengi Tojenga Tamappiadaki Adaka Kusalagai Sirinna Kuisara Parallakkenna
“Nah, itu, ungkapan itu siap mati. Seperti itu. Ketika diangkat konteks pengantin, posisinya dimana kira-kira. Tidak cocok,” terangnya.
Pertunjukan aru dalam pernikahan, kata Tika sebenarnya hal baru. Mulai diperkenalkan pada awal tahun 2000-an. Begitu pula dengan aksi mempertontonkan kekebalan dari senjata tajam.
Saat itu, para pekerja seni di Sulawesi Selatan saling unjuk gigih. Mereka bersaing siapa yang paling unggul.
“Saya katakan dari dulu, tidak ada seperti itu. Berhenti,” akunya.
Dalam catatan primer seperti Lontara, ia menyebut tak ada yang menuliskan angngaru mempertontonkan kekebalan. Apalagi dalam acara pernikahan.
“Karena menurut catatan. Catatan primer. Ketika bawahan mengucapkan aru di depan pimpinan, kita bertingkah laku kurang beretika saja, langsung meki dibunuh pada saat itu. apalagi kalau sudah mempertontonkan kebolehan yang melebihi kebolehan sang raja. Sudah. Selesai di tempat,” jelasnya.