Judi “Online”, Lingkaran Setan Perusak Otak dan Kehidupan

  • Bagikan
Warga menunjukan data penggunaan ponsel saat sosialisasi literasi digital dan bahaya jeratan judi online dan pinjaman online di RPTRA Intiland Teduh Semper Barat, Jakarta, Selasa (12/11/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/agr/aa.

Salah satu faktor yang membuat judi online sulit dihentikan adalah munculnya "cognitive error" atau pikiran yang salah. Banyak pecandu judi online percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membaca pola permainan atau memprediksi hasil.

"Padahal, permainan seperti bakarat itu berdasarkan probabilitas, bukan keahlian. Namun, mereka merasa memiliki kekuatan untuk menang. Ini adalah kesalahan kognitif yang perlu diluruskan melalui terapi," jelas dr Siste.

Selain itu, keberadaan iklan judi online di berbagai media sosial semakin memperparah situasi. Iklan-iklan ini dirancang dengan algoritma yang secara otomatis menargetkan individu yang pernah mengakses situs judi sebelumnya.

"Iklan itu kemudian menstimulus otak bagian depan, maka langsung muncul craving, ingin bermain judi dengan mengklik link-nya," lanjutnya.

Terapi dan rehabilitasi
Penanganan kecanduan judi online memerlukan pendekatan holistik, yang mencakup terapi psikologis dan medis.
Terapi kognitif perilaku (CBT) menjadi salah satu metode utama dalam rehabilitasi. Tujuannya adalah mengubah pola pikir dan memperbaiki kesalahan kognitif yang ada.

Selain itu, teknologi seperti Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) digunakan untuk mengaktifkan "stop system" di otak, demi membantu individu mengendalikan dorongan berjudi.

Obat-obatan tertentu juga sering kali diperlukan, terutama bagi mereka yang telah mengalami kerusakan otak akibat kecanduan.

Pemerintah RI juga menekankan bahwa pemberantasan judi online menjadi salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi masalah sosial.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan