PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Pastikan Perburuk Daya Beli Konsumen

  • Bagikan
Ilustrasi. (int)

Indah melanjutkan potensi ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas.

"Alih-alih menaikkan PPN, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," beber Indah.

Selain itu, akibat kenaikan PPN 12 persen potensi lebingungan tentang kontrak yang sudah ditandatangani. Kebijakan ini juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2025, di mana PPN masih berlaku 11 persen.

"Siapa yang akan menanggung selisih harga akibat perubahan tarif PPN ini? Hal ini tentu akan menambah bingung para pelaku usaha dan konsumen," katanya.

YLKI menilai seharusnya bukan PPN yang dinaikkan. Selain dari PPN yang merugikan rakyat, pemerintah justru membatalkan atau tidak menaikkan cukai rokok dan minuman manis yang seharusnya bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.

Penerapan cukai rokok dan minuman manis juga memiliki manfaat ganda, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengendalikan dampak kesehatan. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih rasional dan berimbang perlu diambil oleh pemerintah. "YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen," kata Indah.

Dia menambahkan langkah itu dianggap sebagai solusi yang lebih bijaksana dalam melindungi daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan.(fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan