FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Hitung cepat yang dilakukan lembaga survei terhadap Pilgub Jakarta menempatkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno unggul sementara.
Perolehan suara pasangan nomor urut 3 ini dipastikan berada di atas angka 50 persen, alias bisa menang satu putaran.
Terkait kemenangan tersebut, terungkap bahwa warga Jakarta semenjak dahulu punya kultur mandiri terhadap kekuasaan.
"Jakarta itu punya memori kritis kepada kekuasaan setiap ajang Pemilu di berbagai era!” ujar Teguh Setiawan warga Cengkareng dan penulis buku ‘Toponomi’ dilansir dari kbanews.
"Tampaknya ini berasal dari tradisi di masyarakat Betawi yang tak punya kerajaan. Wilayah ini dari dahulu kala merupakan kawasan kota perdagangan. Simpul massa dan kekuasaan rill rakyat tidak dipegang oleh raja (penguasa feodal yang kuasai tanah), tapi dipegang oleh penguasa uang (saudagar/bandar pelabuhan), jawara/penguasa kampung, hingga tokoh agama (ulama). Tradisi ini berpengaruh atau mempunya jejak dalam kultur budaya sampai sekarang, yaitu egaliter dan kosmpolitan. Budaya kekuasaan di wilayah ini tidak diturunkan. Penguasa datang dan pergi berganti begitu saja," urai Teguh Setiawan beberapa waktu lalu.
Terkait masa kini misalnya, yakni tentang Pilkada Jakarta 2024, menjadi ‘blunder’ kiranya bila ada calon gubernur yang kini mencoba mendekati seseorang semacam raja. Ini jelas berkonotasi atau berpresepsi buruk bagi warganya karena dianggap tak egaliter. ’’Saya lihat misalnya para tetangga di kampung saya bereaksi negatif ketika menjelang pencoblosan ada yang ‘sowan’ kepada Jokowi di Solo. Celakanya, dia itu mengunjungi mantan penguasa. Padahal kultur masyarakat Jakarta itu selalu kritis pada penguasa, apalagi ini cuma seorang mantan.”
‘’Reaksi fenomena itu kemudian saya lihat persepsi publik Jakarta terhadap Ridwan Kamil menjadi terasa ‘dingin’. Dia terkesan tidak mandiri atau melawan kultur egalitarianisme masyarakat Jakarta. Justru sebaliknya, pihak yang kritis dan mandiri terhadap kekuasaan seperti kelompok ‘Anak Abah’ malah naik. Lihat saja pada ikon pahlawan Betawi seperti Pitung atau Entong Gendut. Mereka mendapat legitimasi menjadi pemimpin karena melawan penguasa birokrat, bukan raja’’ ujarnya.
Menurut Teguh, pemahaman akan persepsi dan kultur kekuasaan di masyarakat Betawi atau Jakarta sangat penting untuk memahami pertarungan politik dan simpul kekuatan massa, khususnya di ajang Pemilu semenjak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi.
’’Almarhum Ridwan Saidi sempat bercerita bagaimana Partai Masyumi memahami secara baik kultur dan simpul masyarakat Jakarta terkait pilihan politik. Pada Pemilu 1955 partai itu tidak membawa ekpresi kekuasaan feodal ala kekuasaan Jawa di sini. Namun mereka bawa budaya egaliter Melayu yang itu juga menjadi rumpun budaya masyarakat asli Jakarta,” bebernya.
Soal pemahaman akan kultur kekuasaan Jakarta misalnya, lanjut Teguh, terlihat pada bentuk kampanye tiga partai utama di Jakarta pada Pemilu 1955, yakni Masyumi, PNI, dan PKI. Masyumi menyajikan pertunjukan kampanye dengan musik bergenre lagu Melayu. Tampilan ini mengesankan semangat kosmopolitan khas wilayah pantai dan kota perdagangan.
‘’PNI pada kampanye Pemilu 1955 memilih menyajikan pertunjukan musik yang kala itu terkesan ‘lebih nasionalis namun kental bernuansa priyayi Jawa’, yakni musik kroncong. Sedangkan PKI memakai idiom agitasi perlawan ala proletariat dengan mengerahkan kaum urban miskin dari Jawa untuk memperbanyak dukungan massa. Ini diwujudkan dengan usaha kerasnya memperjungkan pengakuan hak pilih bagi warga pendatang yang hidup menggelandang dengan tinggal di rumah keong (rumah tenda dari plastik) di seputaran ibu kota,’’ katanya.
Yang paling terasa dan langsung dialaminya, ungkap Teguh, adalah Pemilu di masa kejayaan Orde Baru. Kala itu rakyat Jakarta melawan dengan keras usaha hegemoni kekuasaan Suharto melalui Golkar. Partai ini baru berhasil memenangkan Pemilu di Jakarta setelah melakukan represi yang sangat luar biasa, yakni pasca Pemilu 1982.
‘’Yang saya ingat pada Pemilu 1971 dan 1977 partai penguasa, yakni Golkar, kalah telak di Jakarta. Mereka mulai menang sejak Pemilu 1982. Caranya dengan lakukan intimidasi kepada ulama dan jawara. Saya yang saat itu duduk dibangku kelas SMA kelas 3 dan sudah berhak memilih, diancam bisa tak lulus sekolah bila tak mencoblos Golkar. Pada hari pencoblosan kami digiring ke TPS yang didirikan di dekat sekolah,’’ kisah Teguh kembali.
Bahkan sebelum pencoblosan, Teguh menyatakan bila dia bersama teman-temannya ikut dikerahkan berkampanye. ’’Saya masih ingat pada pagi hari dari sekolah kami disewakan bus PPD pergi ke kampanye Golkar di Lapangan Banteng yang berakhir rusuh itu. Tiba-tiba panggung kampanye ambruk disusul dengan munculnya kepulan asap karena terjadi kebakaran. Orang-orang berlarian. Penyanyi dangdut Camelia Malik yang tengah menyanyi, tergopoh turun panggung dengan muka pucat sembari dikawal ketat oleh sejumlah lelaki berperawakan kekar.”
‘’Jadi di Lapangan Banteng itu saya lihat langsung contoh represi kekuasaan politik di Orde Baru pada rakyat di Jakarta demi memenangkan Pemilu. Saya lihat sendiri ada orang ditembak di dekat Pasar Senen usai rusuh kampanye. Jelas itu intimidasi politik. Tujuan agar warga Jakarta tak kritis dan menuruti instruksi agar mencoblos Golkar,’’ tegas Teguh.
Memang setelah itu sikap kritis warga Jakarta terhadap kekuasaan menghilang. Namun, tiba-tiba pada tahun Pemilu 1997 muncuk kemba,li. Uniknya dua partai pesaing Golkar, yakni PDI dan PPP, di Jakarta bersatu melakukan perlawanan. Maka munculnya fenomena ‘Mega Bintang’. Meski begitu, cengkeraman Golkar di Pemilu Jakarta masih kuat, bahkan meraih kemenangan mutlak sampai 73,11 persen. Sementara PPP meraup suara 15,96 persen, dan PDI 10,93 persen.
Tetapi sejarah kemudian menyatakan, kemenangan pihak penguasa melalui Golkar di Pemilu 1997 itu berubah menjadi tak ada arti hanya dalam hitungan beberapa bulan saja. Usai Presiden Suharto menjabat lagi sebegai presiden di periode keenam itu, munculah secara bergelombang aksi demonstrasi akibat krisis ekonomi yang kemudian berpuncak pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kemenangan Golkar secara mutlak pada Pemilu 1997 Jakarta hilang artinya. Jakarta malah menjadi kota yang paling anti orde baru, karena menjadi pusat perlawanan gerakan ‘pelengseran kekuasaan’ Suharto.
Akhirnya bagaimana kaitannya budaya kritisisme warga Jakarta terkait Pilkada kali ini? Teguh menjawab, bila di masa pemilu Orde Baru ada diwakili PPP dan PDI, tampaknya kini kekuatan oposisi berada di ‘anak abah’. Mereka terkesan lebih tulus melakukannya. (bs-sam/fajar)