Oleh: Muh. Ikhlas Parenrengi Tetteng
(Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)
Presiden Prabowo telah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat Indonesia, terutama anak-anak dan kelompok rentan (ibu hamil, menyusui, balita). Program MBG yang akan direalisasikan secara bertahap mulai pada 2025, juga di harapkan menjadi salah satu katalisator pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke berbagai negara beberapa waktu lalu secara khusus mempromosikan program MBG agar mendapat dukungan dan kerjasama baik dari sisi teknis maupun pendanaan, dan alhasil kunjungan tersebut mendapat sambutan dan dukungan sejumlah negara seperti China, Amerika Serikat (AS), Prancis, Inggris dan Brasil yang cukup berhasil menerapkan program makan bergizi gratis.
Dalam pelaksanaannya, program ini tampaknya memang dirancang untuk melibatkan kerja sama internasional guna memperkuat pendanaan, teknologi, dan distribusi. Namun keterlibatan pihak asing dalam program ini dapat memberi dampak positif maupun dampak negatif yang perlu mendapat perhatian.
Dampak Positif Kerja Sama Internasional
Kerja sama internasional membuka pintu bagi banyak manfaat yang dapat mendukung keberhasilan program MBG. Pertama, transfer teknologi dan pengetahuan dari negara-negara yang telah berhasil menerapkan program serupa. Dengan melakukan kerjasama, Indonesia dapat memanfaatkan pengetahuan dan inovasi yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Misalnya, negara-negara tersebut dapat berbagai informasi tentang teknologi fortifikasi pangan, atau distribusi yang efisien yang dapat membantu memastikan bahwa makanan bergizi menjangkau daerah terpencil dengan kualitas yang tetap terjaga.
Kedua, dukungan pendanaan dari organisasi internasional seperti WHO, UNICEF, atau Bank Dunia dapat meringankan beban anggaran negara. Bantuan ini dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur pangan, pelatihan tenaga kerja, atau membangun kesadaran gizi masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa program MBG membutuhkan anggaran yang sangat besar, yakni kurang lebih 400 triliun rupiah/tahun untuk belanja bahan hingga biaya pendistribusian makanan.
Ketiga, pembelajaran dari praktik terbaik di negara lain memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaiki strategi pelaksanaan. Contoh nyata adalah program Zero Hunger di Brasil, yang berhasil menurunkan angka kelaparan atau Stunting dengan melibatkan semua sektor, mulai dari petani lokal hingga pemerintah pusat.
Dampak Negatif yang Harus Diwaspadai
Meskipun kerjasama Internasional dapat membawa manfaat besar, namun kerja sama internasional juga dapat menimbulkan ancaman /risiko. Salah satu ancaman penting adalah ketergantungan pada pihak asing. Jika sebagian besar bahan pangan atau teknologi berasal dari luar negeri, Indonesia berpotensi kehilangan kemandirian dalam memastikan keberlanjutan program ini. Kerjasama internasional sering kali melibatkan bantuan finansial dari negara donor atau lembaga internasional. Sumber pendanaan ini bisa datang dalam bentuk pinjaman atau hibah. Meskipun hibah tidak perlu dilunasi, pinjaman tentunya menjadi beban utang yang harus dibayar kembali. Dalam konteks Program MBG, jika program ini dibiayai melalui pinjaman, maka beban utang Indonesia semakin besar, padahal utang kita saat ini sudah berada pada level yang cukup tinggi.
Selain itu, persyaratan tertentu yang diajukan oleh negara mitra atau lembaga donor dapat memengaruhi kebijakan nasional. Misalnya, fokus pada produk tertentu yang lebih menguntungkan pihak asing daripada yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
Ancaman lainnya adalah dampak negatif terhadap sektor lokal. Jika kerja sama ini terlalu banyak mengandalkan impor, petani dan produsen lokal bisa kehilangan pasar mereka. Padahal, pelibatan sektor domestik seharusnya menjadi prioritas untuk memperkuat ekonomi lokal dan menciptakan lapangan kerja.
Menyelaraskan Kerja Sama dengan Kepentingan Nasional
Kerja sama internasional adalah pedang bermata dua. Agar memberikan dampak positif maksimal dan meminimalkan kerugian, pemerintah harus bersikap bijak dalam merumuskan kerangka kerja sama. Pertama, penting untuk menetapkan syarat yang jelas dan mengutamakan keberlanjutan program di tingkat lokal.
Kedua, program ini harus dirancang untuk memprioritaskan pelibatan produsen lokal. Misalnya, bahan pangan yang disalurkan dalam program dapat diperoleh dari petani lokal, sementara kerja sama internasional difokuskan pada transfer teknologi atau peningkatan kapasitas tenaga kerja.
Ketiga, Indonesia harus memastikan bahwa kerja sama ini mendukung tujuan jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur pangan, alih teknologi, dan peningkatan pendidikan gizi masyarakat.
Penutup
Program Makan Bergizi Gratis adalah langkah berani untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Kerja sama internasional dapat menjadi katalis yang mempercepat keberhasilan program ini, asalkan dikelola dengan prinsip kemandirian dan keberlanjutan. Dengan pengawasan yang ketat dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional, program ini tidak hanya akan menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga pondasi bagi masa depan Indonesia yang lebih sehat dan mandiri. Semoga, Fastabiqul khairat. (*)