Oleh: Muyassar Nugroho, S.H., M.H., CMLC. (Politikus Muda Partai GOLKAR)
FAJAR.CO.ID, OPINI -- Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai bagian dari komitmennya terhadap perubahan iklim global. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui mekanisme perdagangan karbon yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2021 (PERPRES №98/2021). Target pengurangan emisi GRK Indonesia, yang berkisar antara 29% hingga 41% pada 2030, menuntut peran serta aktif berbagai pihak untuk mewujudkannya, baik itu pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat.
Namun, data terbaru menunjukkan bahwa perdagangan karbon di Indonesia masih jauh dari harapan. Bursa Karbon Indonesia (BKI), yang baru beroperasi selama setahun, mencatatkan transaksi senilai Rp37 miliar pada September 2023. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan potensi pasar yang diperkirakan dapat mencapai Rp3.000 triliun. Untuk itu, langkah strategis diperlukan agar pasar karbon Indonesia bisa berkembang lebih optimal dan mendukung pencapaian target pengurangan emisi yang ambisius ini.
Tantangan dalam Pengembangan Pasar Karbon
Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi agar pasar karbon Indonesia tidak stagnan. Pertama, desain dan mekanisme perdagangan yang belum sepenuhnya kompatibel dengan sistem pajak karbon menjadi hambatan besar. Ketidaksesuaian antara kebijakan perdagangan karbon dan instrumen pajak memerlukan penyelarasan agar implementasinya lebih efisien.