Menurutnya, usulan tersebut akan diserap oleh DPR dan Pemerintah dalam merumuskan norma UU Pemilu yang baru dan benar-benar aspiratif.
“Usulan ini bisa menjadi masukan yang penting kepada kami (DPR) dan pemerintah dalam merumuskan UU pemilu nantinya. Sehingga, dengan nantinya diharapkan UU pemilu tidak berubah-ubah setiap 5 tahun,” ungkapnya dalam Sidang Pleno MK perkara 135 UU Pemilu yang disampaikan secara virtual di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Perludem menilai pelaksanaan Pemilu serentak dengan lima kotak suara menimbulkan sejumlah persoalan, seperti melemahkan pelembagaan partai politik, menghambat proses penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas demokrasi.
Mereka berargumen bahwa Pemilu serentak ini berdampak serius pada asas-asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Keserentakan Pemilu nasional dan daerah dianggap tidak memberikan cukup waktu bagi partai politik untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi secara maksimal.
Akibatnya, pencalonan legislatif cenderung didominasi oleh kandidat populer atau yang memiliki dukungan finansial besar, bahkan mengurangi ruang bagi proses kaderisasi yang lebih terencana.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa partai politik mengalami kesulitan dalam melaksanakan rekrutmen dan kaderisasi politik sebagai dampak dari keserentakan pemilu, sesungguhnya masih bersifat spekulatif dan belum didukung oleh data kuantitatif maupun kualitatif yang menunjukkan adanya korelasi langsung antara keserentakan pemilu dengan penurunan kualitas kaderisasi partai politik.