Oleh: Mukhtar Tompo
(Ketua Umum Ormas Nasional Benteng Persatuan Rakyat)
Indonesia baru saja menyelenggarakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak pada 27 November 2024. Sebanyak 545 daerah, rinciannya 37 provinsi untuk memilih pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 415 kabupaten memilih pasangan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 93 kota yang memilih pasangan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwalkot). Dari semua yang Pilkada, 41 daerah terdapat calon tunggal yang dikenal dengan istilah adanya Kotak Kosong, yakni 1 Pilgub di Propinsi Papua Barat, 36 Pilbup, dan 6 Pilwakot. Hanya satu yang tidak ada, Pilgub DIY. Runut berbagai kejadian di hari sama 27 November 2024 itu, penulis merasa penting menulis pandangan sekaligus gagasan ini.
Mulai satu jam setelah durasi Pilkada serentak selesai, berbagai lembaga survei dan quick count (hitung cepat) merilis Pilkada di daerah olahan mereka. Jelang malam bahkan beberapa lembaga telah menyelesaikan 100% hasil hitung cepat di TPS-TPS yang menjadi sampel. Hasilnya sepeti yang kita lihat bersama. Ada incumbent kembali menang, ada pula yang tumbang. Sesama penantang ada yang menang dengan hasil sangat jauh dari lawan-lawannya, ada pula yang saling mengklaim sebagai pemenang karena selisih suara tak sampai 1%. Masyarakat pun lebih banyak disuguhi pada hiruk-pikuk hasil Pilkada dengan segala dinamika, dari yang paling adem ayem menerima hasil hingga beberapa tempat terjadi keributan hingga konflik horizontal seperti di Pilbup Puncak Jaya, Papua Tengah, memakan korban 40 rumah terbakar.
Dalam potret lain, Pilkada serentak 2024 memakan biaya teramat besar. Lewat Kementerian Keuangan anggaran negara yang digelontorkan sebesar 37,4 triliun rupiah, belum termasuk atas nama program menyukseskan Pilkada serentak masing-masing anggaran dari tiap kementerian dan lembaga lainnya, termasuk anggaran pengamanan pihak kepolisian dan institusi lainnya. Belum lagi tiap-tiap pemerintahan di propinsi dan tiap kota serta kabupaten, mencapai ratusan triliun. Selain itu, menjadi jejak buruk dalam sejarah Indonesia perputaran dana dari sejak munculnya bakal calon, mengerucut menjadi calon, hingga calon tetap. Tingginya mahar politik parpol pengusung untuk dapat tiket pencalonan juga jadi biang keladi politik transaksional. Terparah tentu saja money politic. Tak ada yang dapat memungkiri, ada saja penamaan dari para calon agar berkesan sekedar bantuan. Tapi paket-paket dalam bentuk bahan pokok, barang, cinderamata, hingga dana segar dalam amplop dan transferan, berseliweran siang malam sejak pra kampanye, masa kampanye, sepekan jelang pemilihan, bahkan di masa tenang. Banyak sekali dana terbuang dalam proses panjang Pilkada, setiap Paslon harus mengeluarkan uang yang begitu besar, di sisi lain masayarakat melakukan peran signifikan sebagai akibat dari sebab Paslon dan timnya dalam menawarkan pragmatisme.
Kita semua melakukan kesalahan, ikut serta memberikan kontribusi lahirnya kerusakan negara (pemimpin dan rakyat) atas sistem pemilu yg panjang, ribet, dan pragmatis. Presiden, menteri dan seluruh perangkat sistem negara dari pusat telah mengabaikan sistem yang rusak parah ini. Banyak orang yang terpaksa korupsi hanya demi memenuhi tuntutan keadaan, KPK hanya bisa menangkap koruptor, masih lemah dalam pencegahan. Begitu banyaknya guru besar, doktor, jenderal TNI dan jenderal Polisi baik yang aktif ataupun purnawirawan, semuanya hanya bisa menyaksikan. Ironis sekali, Pilkada diisi calon dari eks buronan kasus korupsi, eks narapidana, pelaku pelecehan seksual, hingga dinasti politik turun temurun.
Menurut data riset dari IFAR UNIKA Atma Jaya, Election Corner Fisipol UGM, dan Polgov UGM, ada 605 politisi dinasti atau dinasti politik yang terjun ke Pilkada, jumlahnya 19,5% dari 3.106 pasangan calon kandidat. Mereka tersebar di 65% daerah kompetisi Pilkada. Artinya, hampir menyebar ke berbagai pelosok tanah air; dinasti politik ini tampil sebagai kontestan Pilkada yang mengkampanyekan dirinya sebagai calon pemimpin terbaik. Catatan lainnya, ada 66 eks terpidana mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sejumlah diantaranya adalah eks napi korupsi, diantara mencalonkan diri di Propinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Bone Bolango. Masing-masing punya dua kepala daerah eks napi. Sementara pernyataan sikap dari Komnas Perempuan, sebagaimana data yang dirilis oleh Voa Indonesai, hanya ada 10% perempuan yang ikut berkontestasi sebagai kandidat Pilkada. Khusus di Jawa timur, 3 kandidat cagubnya semua perempuan. Data lainnya, di Papua Barat Daya sebagai daerah baru yang dimekarkan punya 5 calon Gubernur, sedangkan di Dogiyai Papua Tengah dan Lembata NTT, terdapat 6 Paslon berebut kursi bupati dan wakil bupati. Voa Indonesai merilis data BAWASLU yang menyatakan adanya 1.127 TPS yang rawan keterlibatan aparat, baik ASN, TNI, POLRI dan perangkat desa yang menguntungkan atau merugikan Paslon. Ada pula 2.799 TPS yang memiliki riwayat praktik money politic atau materi lain yang tak sesuai aturan kampanye di sekitar TPS. Di sisi lain ICW merilis adanya 11 kasus korupsi dana hibah dana Pilkada yang ditangani aparat pada tahun 2023 dengan kerugian negara mencapai 38,2 miliar rupiah. Paling terbaru adalah OTT KPK kepada Rohidin Mersyah (Gubernur Bengkulu yang saat ini kembali maju di periode keduanya). Dia ditangkap sekaitan dengan korupsi dana Pilkada dengan aneka macam praktiknya untuk memenuhi kebutuhan kampanye pemenangannya, sedikitnya terdapat uang 7 miliar yang diamankan saat OTT KPK pada Senin 25 November 2024 atau 2 hari sebelum pencoblosan dilaksanakan.
Pilkada serentak 2024 dapat menggiring bangsa pada disintegrasi; keadaan dimana bangsa tidak bersatu padu, terpecah belah, hingga hilangnya keutuhan dan persatuan. Dampak dari Pilkada telah mengoyak sendi-sendi persatuan bangsa. Semangat gotong royong hilang tergantikan sikap pragmatisme. Persatuan telah rusak. Siapa yang menyebabkan semua ini? Ya, tentu saja semua yang disebutkan sebelumnya. Dari presiden dan semua eksekutif, DPR dan semua legisltaif, semua yudikatif, juga semua akademisi, ormas, LSM, dan lainnya. Pembiaran atas berubah-ubahnya undang-undang hingga aturan teknis dapat terbaca sebagai kerusakan. Pilkada saat ini adalah pertarungan kapital yang dibungkus atas nama pesta rakyat atau pesta demokrasi. Punya uang yang punya kuasa, bahkan hampir saja melupakan Tuhan Yang Maha kuasa.
Apakah Pilkada serentak model 2024 akan masih dipertahankan di 2029? Kenapa mesti digelar Pilkada dengan model seperti ini? Apa urgensinya ketika dalam praktiknya sudah jauh menyimpang dari jalur dan tujuannya?
Bagi Paslon yang terpilih dengan proses yang buruk ini, mereka bisa kerja apa ketika telah terjebak masuk dalam lingkaran setan. Sebagian yang tampil karena mungkin telah ada niat buruk, atau mungkin saja dengan niat baik tapi terjebak dalam proses yang buruk ini. Ada yang maju sekedar gagah-gagahan, ada pula karena harga diri.
Pada akhirnya kita harus membuka mata dan hati, jika seluruh proses dan hasil Pilpres, Pileg, dan Pilkada ini telah menyita energi masyarakat bawah dalam rentetan waktu yang amat panjang dan melelahkan. Grassroot terlalu jauh dilibatkan di pesta demokrasi, berefek buruk dengan kurangnya produktifitas masyarakat pada sektor riil seperti petani, nelayan, dan lainnya. Proses panjang ini telah memantik terjadinya ketidakstabilan berbangsa dan bernegara. Persatuan dan kesatuan bangsa jadi kacau balau.
Jika Pilkada serentak dapat memberi pelajaran berharga dan kesadaran untuk kita semua, mungkin wacana Pemilihan Langsung oleh rakyat di semua level (Pilpres, Pileg, Pilkada) perlu dipertimbangan ulang. Baiknya Pilkada (Pilgub dan Pilbup) tersentral saja, saatnya wakil rakyat yang memilih, sebagaimana substansi dan tujuan sila keempat Pancasila; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Tidak harus seluruh tingkatan pemilihan yang dipilih oleh rakyat, tapi setidaknya ada proses yang dipangkas, cukup Pileg dan Pilpres yang dipilih langsung oleh rakyat. Negara Bisa! Dimulai dengan negara mengawal sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya semua proses; agar pemilihan wakil rakyat betul-betul bersih, sebagai representatif rakyat itu sendiri, agar semua kontestasi demokrasi di Indonesia, benar-benar untuk mencapai tujuan dan hal paling utama, yakni Persatuan Bangsa. (*)