“Habis itu, rakyat itu dikemanakan. Rakyat itu dikemanakan. Padahal kan, pembukaan Undang-Undang Dasar kita bilang yang punya daulat itu rakyat. Pemerintahan disusun atas dasar kedaulatan rakyat. Nah, dimana letaknya rakyat itu?,” tambahnya.
Oleh karena itu, dengan adanya pemilihan langsung di mana rakyat memilih sendiri kepala daerahnya, maka akan menempatkan rakyat yang punya dasar dalam kerangka daulat rakyat. Termasuk, memastikan memang pemerintahan itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
“Semangat kita waktu itu, maka dipilihlah Pilkada langsung ini, dan ternyata memang ada insentif yang kita dapat dengan memilih langsung ini, yaitu insentif psikologis dan sosial. Terbentuk ekosistem demokratis di mana setiap calon kepala daerah, bahkan sebelum pencalonan sampai dia dilantik berusaha betul agar program yang disusun sesuai dengan aspirasi masyarakat,” ujar jebolan Fisipol UGM ini.
Karena itu, dengan adanya pemilihan langsung, maka rakyat akan memiliki preferensi mana kepala daerah yang sesuai dengan kepentingannya. Bahkan tidak sekadar didengar, tapi setelah menjabat, rakyat bisa menuntut dan menghukum dengan cara tidak memilihnya kembali di lima tahun berikutnya.
“Nah sekarang kalau kita mau kembali dipilih DPRD, apa jaminannya? Karena harus kita beri keyakinan kepada rakyat. Ketika dipilih DPRD nanti, rakyat mau ditempatkan sebagai apa? Rakyat nggak yakin itu. Karena kan kita udah punya pengalaman. Nanti rakyat akan jadi objek lagi," tegasnya.
Termasuk, ia pun tidak yakin jika calon kepala daerah dipilih DPRD maka akan menghilangkan budaya politik uang. “Kalau memang sekarang ada money politics, dipilih DPRD juga ada money politics-nya. Kan kita sudah pengalaman dengan itu,” pungkasnya. (Pram/fajar)