Bahwa wacana melalui mekanime DPRD dapat dikatakan lebih efisien dan dapat mengurangi biaya politik yang sangat besar dan merupakan bibit-bibit korupsi. Di sisi lain, kritik terhadap wacana ini dapat menimbulkan risiko melemahnya akuntabilitas, menurunnya partisipasi rakyat, dan meningkatnya potensi politik transaksional, sehingga penting untuk mempertimbang solusi yang lebih inklusif.
Apabila kita tinjau dari ilmu politik, kedua mekanisme pemilihan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemilihan langsung dianggap lebih demokratis karena memungkinkan rakyat terlibat langsung dalam proses politik. Pendekatan ini mendukung prinsip kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl. Namun, tingginnya biaya kampanye dan persaingan yang intens dapat memicu konflik horizontal di masyarakat. Sebaliknya, teori elitisme yang dikemukakan oleh Joseph Schumpter mengenai Pemilihan tidak langsung melaluin perwakilan di DPRD. Dalam model ini, dapat membuka peluang untuk terjadinya dominasi elit politikm yang berisiko memunculkan oligarki politik. Untuk mengubah mekanisme ini, diperlukan revisi Undang-Undang yang harus mempertimbangkan aspek transparansi, keadilan dan kesesuaian dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan mekanisme demokratis dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam perspektif Pancasila memberikan kerangka filosofis untuk menilai wacana ini. Sila Keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan", memberikan legitamasi bagi pemilihan melalui DPRD. Namun, mekanisme ini harus berjalan dengan prinsip keadilan yang diatur oleh Sila Kedua dan Kelima, yakni "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" serta "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Reformasi Sistem Pilkada langsung dapat menjadi solusi untuk mengatasi kelemahan yang ada tanpa mengorbankan partisipasi rakyat.