Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Nelayan merupakan komunitas yang menggantungkan hidup pada kekayaan laut. Laut yang luas dengan berlimpahnya hasil ikan seharusnya menjadi sumber penghidupan yang menjanjikan. Namun, banyak nelayan, terutama yang tergolong tradisional, masih terjebak dalam jerat kemiskinan. Alat tangkap yang sederhana dan terbatas membuat mereka hanya mampu beroperasi di zona tertentu. Tantangan lain adalah ketergantungan pada musim, yang memaksa banyak nelayan mencari alternatif pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Di tengah tantangan tersebut, kearifan lokal masyarakat pesisir di berbagai daerah di Indonesia memberikan inspirasi dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut dan menjalani kehidupan bermakna.
Konsep Laut dalam Budaya Lokal
Masyarakat pesisir pantai utara Papua memahami laut tidak hanya sebagai tempat mencari nafkah, tetapi juga sebagai ruang menjalin hubungan antarmanusia melalui penangkapan ikan, pelayaran, dan perdagangan. Mereka menerapkan aturan dan nilai-nilai dalam mengolah laut untuk menjaga keberlanjutan ekosistem.
Teknologi penangkapan ikan tradisional seperti perahu belang di Pulau Aru mengandung filosofi budaya. Perahu ini bukan sekadar alat transportasi, tetapi juga mencerminkan struktur sosial masyarakat adat setempat.
Di pesisir pantai Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat, laut dianggap penuh tantangan. Untuk menghindari malapetaka saat melaut, masyarakat mengadakan ritual tolak bala, sebagai bentuk perlindungan spiritual.
Sistem Pengetahuan dan Ritual Kemaritiman
Komunitas Orang Bajo di Kabupaten Bone memiliki pengetahuan mendalam tentang flora, fauna, dan tanda-tanda alam yang menjadi pedoman hidup mereka. Pengetahuan ini diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian integral kehidupan mereka yang sangat akrab dengan laut.
Di Kepulauan Riau, masyarakat pesisir juga memanfaatkan tanda-tanda alam untuk menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai nelayan, menunjukkan harmoni antara manusia dan alam.
Masyarakat pesisir Minahasa melakukan upacara labuang, sebuah ritual syukuran berupa penyerahan sesajen ke laut sebagai ungkapan terima kasih kepada penguasa laut atas hasil tangkapan.
Berbeda lagi dengan tradisi palebon atau ngaben di Jawa. Tradisi Hindu ini melibatkan pembakaran jenazah dan melarungkan abunya ke laut sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Tradisi Pesisir dan Kesusastraan Maritim
Di Kalimantan Barat, masyarakat pesisir memiliki tradisi buang-buangan untuk menjaga hubungan harmonis dengan penghuni sungai, seperti buaya. Upacara ini dilakukan dengan membaca mantra dan memberikan sesajen di sungai.
Di Pulau Sumatera, tepatnya Pulau Brauh, seni masyarakat pesisir menjadi media syiar Islam yang sarat simbol kemaritiman. Hal ini menunjukkan bagaimana laut tidak hanya menjadi sumber kehidupan fisik tetapi juga spiritual.
Menjaga Laut untuk Masa Depan
Kearifan lokal ini mengajarkan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis antara manusia, laut, dan budaya. Dengan menghormati tradisi dan menerapkan teknologi yang sesuai, diharapkan kehidupan masyarakat pesisir dapat lebih sejahtera tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem laut yang menjadi penopang hidup mereka. (*)