Pemerintah telah memasukkan Bahasa Inggris dalam kurikulum formal di tingkat menengah. Namun, kemampuan siswa dalam menguasai bahasa ini masih rendah, yang memunculkan pertumbuhan lembaga nonformal untuk memenuhi kebutuhan praktis pembelajaran. Bahasa Inggris juga dianggap sebagai bahasa bergengsi yang sering digunakan dalam komunikasi tingkat elit yang melibatkan code-switching dan code-mixing. Hal ini mempertegas peranannya dalam kehidupan sosial dan profesional. Di sisi lain, kurangnya kemampuan komunikasi praktis dalam Bahasa Inggris menjadi hambatan besar, meskipun telah diajarkan selama bertahun-tahun di sekolah formal.
Menurut Ketua Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unhas yang dilahirkan di Malino, Kabupaten Gowa, 3 November 1963 ini, tantangan dalam pembelajaran Bahasa Inggris dapat diamati melalui beberapa fenomena, di antaranya adalah, resistensi pebelajar terhadap pembelajaran Bahasa Inggris akibat minimnya eksposur Bahasa Inggris di luar kelas. Persepsi bahwa Bahasa Inggris hanya salah satu mata pelajaran formal. Terjadinya ketimpangan fasilitas belajar antara pelajar di perkotaan dan pedesaan. Serta kurangnya motivasi intrinsik karena pembelajaran dianggap tugas wajib, bukan kebutuhan.
Kemudian disorientasi tujuan pengajaran, dimana fokus utama guru adalah pada keberhasilan ujian, bukan keterampilan komunikatif. Pengajar lebih mengejar target kurikulum daripada meningkatkan kemampuan praktis siswa. Hal ini sebagian disebabkan oleh kurangnya pelatihan bagi guru untuk menguasai metode pengajaran modern yang lebih efektif. Dan fenomena lainnya yakni terkait ketidaksesuaian buku teks yang materinya sering tidak relevan dengan kebutuhan siswa, lalu metode pengajaran statis didominasi Grammar Translation Method (GTM) yang kurang efektif dibandingkan pendekatan komunikatif (Communicative Language Teaching), dan juga terbatasnya eksposur ke Bahasa Inggris.