Krisis China: Ujian Xi Jinping dan Dampaknya Bagi Indonesia

  • Bagikan
Bernard Haloho (Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri))

Opini oleh: Bernard Haloho (Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Bridge Research Institut (Ind-Bri))

“Karakter seseorang lebih berharga dari semua emas yang ada di dunia.” Thomas Jefferson

Sejak tahun 1978 China mengalami pertumbuhan ekonomi fenomenal yang konsisten selama lebih dari dua dekade sebelum masuk menjadi anggota WTO tahun 2001.

Pertumbuhan China sempat terkoreksi pada 1989 dan 1990, yakni hanya sebesar 4,21 persen dan 3,92 persen akibat dampak peristiwa tragedi Tiananmen.

Namun kurang satu dekade kemudian, tepatnya pada 2010, China menyalip Jepang menjadi negara ekonomi terbesar nomor 2 hingga saat ini.

Faktor determinan apa yang membuat China menjadi adidaya dari negara miskin menjadi negara kaya dan sangat berpengaruh di dunia? Ada banyak faktor, terutama kepemimpinan era Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Dua bapak bangsa ini memiliki karakter kepemimpinan yang sangat kontras. Mao dengan ideologi komunis murninya yang mencetuskan revolusi kebudayaan yang sarat kepentingan pribadi menekuk lawan politiknya menggunakan mobilisasi massa, otoriter dan personal, autarki dan memaksa terjadinya perubahan radikal budaya dan sosial di masyarakat dengan konsekuensi kehancuran apapun.

Sedangkan Deng karakter pemimpin pragmatis, reformis, menerapkan sistem ekonomi mixed kapitalisme dan sosialisme, non isolasionis, pro stabilitas politik dan sosial dan kepemimpinan kolektif terbatas.

Sejarah kepemimpinan dua tokoh besar China inilah yang menavigasi dan membentuk karakter tangguh masyarakat memasuki fase membangun bangsa pasca Mao meninggal dunia. Kepemimpinan Deng perlahan-lahan mulai membangunkan sang raksasa yang sedang tidur, menjadi prima saat memasuki panggung WTO pada 2001.

Krisis Ekonomi

Tanda-tanda awal memburuknya ekonomi China mulai terjadi saat terjadinya pergeseran hubungan saling menguntungkan menjadi persaingan strategis antara China dan Amerika Serikat era Donald Trump.

Kebijakan agresif Trump yang memprioritaskan MAGA (Make America Great Again) ‘menghukum’ China dengan banyaknya kebijakan konfrontatif yang diantaranya : tarif tinggi impor, sanksi teknologi, ketegangan di Laut China Selatan dan ketegangan akibat pandemi Covid 19.

Sikap AS tersebut tentunya dibalas oleh China yang mengakibatkan ketegangan semakin meninggi.

Era presiden AS Joe Biden pun tak jauh berbeda, ketegangan dengan China bukannya membaik malah sebaliknya dan meluas. Dukungan China ke Rusia dalam perang Ukraina semakin menjauhkan adanya perbaikan hubungan kedua negara. Berdasarkan kajian Pentagon di bidang siber, China merupakan tantangan terbesar.

Ditambah dengan kemajuan teknologi generatif AI (akal imitasi)- di mata AS, China menjadi ancaman terdekat memasuki era baru peradaban manusia dengan kecerdasan buatan, hal ini menjadi faktor penting kerasnya AS melarang teknologi chip tercanggih di ekspor ke China.

Dan ketegangan kedua negara kedepannya semakin berbahaya dengan terpilihnya kembali Trump di periode keduanya menjadi Presiden AS.

Sebagai negara manufaktur terbesar dunia sejak 2010, perekonomian China sangat bergantung dengan ekspor. Namun saat ini, keadaannya sangat menantang karena produk berlimpah namun demand dunia drop.

Di saat bersamaan situasi ekonomi domestik tidak kalah buruknya. Keadaan masyarakatnya semakin prihatin dan berbahaya. Menciptakan keresahan yang sangat masif ditengah himpitan hidup yang berat.

Kesulitan hidup terjadi di semua kalangan termasuk kelas menengah yang selama ini dimanjakan dengan kemewahan dan kemudahan dari kemajuan perekonomian China.

Keadaan ekonomi di China hampir tiga tahun terakhir seperti sedang mengalami angin badai. Hampir setiap waktu selalu ada laporan buruk dari dunia usaha. Mulai dari perusahaan sangat besar sampai usaha kecil tutup. Social unrest terus mengintai seperti burung Hering menatap buruannya yang sekarat.

Pusat perbelanjaan mewah seperti kuburan walau banyak barang di obral murah. Restoran, kafe sampai kantin penjual makanan pun yang biasa penuh oleh pegawai saat makan siang sepi karena mereka membawa membawa makanan dari rumah.

Daya beli masyarakat anjlok, sehingga terjadi deflasi. Pasar global menciut dan domestik mati suri menjadi pekerjaan rumah berat pemerintah sebelum berubah menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat yang masih pegang uang masih enggan berbelanja terlalu cemas dengan resiko yang ada.

Dengan potret seperti itu pertanyaannya ada apa dengan China? Bagaimana itu bisa terjadi? Padahal strategi selama empat dekade lebih bisa dikatakan sempurna. Pemimpin China berhasil mengatasi Tragedi Tiananmen yang nyaris menjadikan negeri Panda ini berakhir seperti Uni Soviet dan Eropa Timur.

Menurut penulis, bila keadaan domestiknya kondusif dan tidak ada persoalan sistemik, mungkin dampak perang dagang dengan AS tidak sampai parah dan cepat kerusakannya. Bisa di mitigasi dengan penduduk terbesar di dunia dapat menyerap produk yang dihasilkannya, sehingga perekonomian bergerak tanpa deflasi.

Namun, faktanya hampir bersamaan dengan perang dagang muncul masalah besar di berbagai sektor.

Gagal bayar utang jatuh tempo perusahaan-perusahaan besar properti, seperti Evergrande yang mengajukan perlindungan kebangkrutan di pengadilan AS pada Agustus 2023 dengan utang sebesar US$340 miliar setara Rp 5.440 triliun. Begitupun dengan  Country Garden dan Fantasia Holdings dan pengembang lainnya.

Padahal sektor properti menjadi kontributor perekonomian domestik sekitar 25 persen dari PDB.

Krisis properti tentunya ikut merembet ke sektor perbankan. Banyak bank di China memiliki exposure besar dengan banyak pengembang dengan memberikan pinjaman langsung yang dikhawatirkan bila terjadi default dapat mengganggu stabilitas sistem perbankan.

Gagal bayar tersebut dapat menciptakan tekanan di pasar obligasi domestik yang pada akhirnya juga mempengaruhi portofolio institusi keuangan. Naiknya NPL (Non Performing Loan) perbankan dikhawatirkan dapat memicu krisis sistemik perbankan domestik.

Yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan terkait akumulasi utang pemerintah daerah di China sejak tahun 1990 an sampai sekarang.

Demi mewujudkan kota-kota modern, maka digenjot massif pembangunan infrastruktur dengan biaya pinjaman yang total nilainya sebesar US$15,3 triliun atau hampir Rp 230.000 triliun, sedangkan Goldman Sachs memperkirakan US$23 triliun.

Pinjamannya berasal dari berbagai institusi keuangan domestik, pemerintah pusat, dan investor global.

Dari tekanan global dan domestik tergambar krisis di sektor manufaktur, sektor properti, dan ancaman krisis perbankan menyebabkan terjadinya ledakan pengangguran di kalangan usia muda berpendidikan.

Akibatnya banyak masyarakat terjerat utang properti dan konsumsi sehingga mereka sudah tidak sanggup lagi membayar.

Pertanyaan mendasar kepada pendukung MMT (Modern Monetary Theory atau Teori Moneter Modern), bagaimana penjelasan utang ini yang kabarnya sejak dulu China menggunakan kebijakan ini sehingga sangat aman dari ancaman krisis?

Tantangan Politik

Sebelum tahun 1982, konstitusi China tidak membatasi masa jabatan presiden. Usulan pembatasan ini diprakarsai oleh Deng Xiaoping sebagai pelajaran di masa lalu agar tidak boleh lagi terulang kekuasaan politik negara yang terkonsentrasi pada satu figur.

Sejak saat itu transisi pergantian kepemimpinan nasional China berjalan mulus. Mungkin karena manajemen kepemimpinan Deng yang lihai atau karena sistem pemerintahannya yang sangat tertutup atau kombinasi dari keduanya.

Tantangan terberat yang dialami China hanya pada saat pro demokrasi China menuntut kebebasan di tahun 1989.

Ketegasan keputusan Deng melakukan tindakan represif dianggap menyelamatkan China dari situasi tidak terkendali.

Keputusan ini diikuti Politbiro lainnya sehingga membuat Perdana Menteri sekaligus Sekjen PKC Zhao Ziyang terpental diganti oleh Li Peng dan Jiang Zemin. pasca sirkulasi pucuk elit partai, situasinya terkontrol.

Usai tragedi Tiananmen, Deng melepas jabatannya sebagai Ketua Komisi Militer Pusat (KMP) Partai Komunis China. Walau tanpa jabatan, pengaruhnya sangat kuat di kalangan pemimpin partai hingga ia mangkat di tahun 1997.

Terpilihnya Xi Jinping menjadi presiden untuk periode ketiga menegaskan terjadinya sentralisasi kekuasaan dengan menyingkirkan lawan politiknya dari altar kekuasaan. Mengukuhkan sosok Xi setara dengan Mao dan Deng. Sepertinya model kepemimpinan Xi merupakan kombinasi keduanya.

Keteguhan Xi mengontrol kekuasaan dan masyarakat terinspirasi dari Arab spring. Baginya, China tidak boleh terjadi seperti itu. Oleh sebab itu kontrol kebebasan pers, media daring dan aktivitas masyarakat terus diawasi oleh sistem teknologi yang dirancang.

Baginya demokrasi dan kebebasan  sangat beresiko bagi negara sebesar China. Apalagi disaat orientasi politik luar negerinya ingin tampil dominan di panggung global.

Bagi Xi, ia lebih memilih kontrol sosial daripada pemberantasan korupsi. Ini merebak menjadi isu domestik bahwa pemberantasan korupsi hanya alat untuk menekuk lawan politiknya.

Namun, dampak kebijakan dari sentralisasi kekuasaan Xi mengalami kritikan keras dari publik seiring terjadinya turbulensi ekonomi domestik. Protes sosial semakin mengemuka di tengah anomi meluas.

Publik mencermati, ketegangan politik domestik juga sudah menyentuh di intinya altar kekuasaan Presiden Xi. Strategi mendukung Rusia dan ancaman kepada Taiwan disaat bersamaan menimbulkan dinamika tinggi di internal elit PKC dan KMP, sehingga merebak isu power struggle. Karena kebijakan tersebut dianggap membahayakan posisi China untuk masuk jalur bertabrakan dengan kepentingan sangat besar.

Ambisiusnya Xi melakukan modernisasi masif militer China yang didahului dengan mega proyek Belt and Road Initiative (BRI) sebagai jalur sutra modern meliputi empat benua menambah persaingan global semakin keras dimana China dianggap ancaman daripada mitra bagi negara-negara pesaing dalam konteks geopolitik, geoekonomi dan geostrategis.

China sekarang sedang dibebani kasus korupsi di lingkaran elit militernya, presiden Xi dalam waktu kurang satu tahun sudah mengganti menteri pertahanan sebanyak dua kali dan mencopot petinggi penting militer di KMP yang merupakan orang-orang kepercayaannya karena kasus korupsi.

Ujian Kepemimpinan Xi Jinping

Ujian kepemimpinan Xi selama ini sudah teruji dengan menjadikan dirinya Presiden periode ketiga. Xi saat ini tetap menavigasi tantangan domestik dan global negaranya.

Banyak kebijakan komprehensif dilakukan Xi dalam mengatasi krisis dan tantangan tersebut.

Mulai kebijakan moneter dan fiskal berupa pengurangan suku bunga dan stimulus, pngendalian krisis properti, mendorong konsumsi domestik, reformasi pasar untuk menarik investasi asing ke berbagai sektor, anti monopoli, pemulihan pasca pandemi dengan memberikan bantuan kepada UMKM dan melakukan re-strategi diplomasi ekonomi ke berbagai negara.

Dampak dari kebijakan tersebut cukup positif tergambar dari pertumbuhan 2023 sekitar 5 persen setelah terjadi koreksi karena kebijakan zero covid-19.

Selama dua dekade kepemimpinan Xi sukses membuat PDB China melonjak lebih dua kali lipat menjadi US$17,89 triliun.

Selain berhasil mengentaskan kemiskinan ekstrim, dampak negatif dari kemajuan ekonomi menciptakan kesenjangan ekonomi sangat lebar antara kaya dan miskin. Enam ratus juta orang masih berpenghasilan 1000 yuan per bulan.

Upaya keras Xi dalam mengatasi krisis ekonomi dan tantangan politik membutuhkan kerja lebih keras lagi di tengah ketidakpastian dunia dan geopolitik penuh tantangan.

Kelihaian dan determinasi kepemimpinan Presiden Xi diuji bak playing badminton in hurricane. Apakah Xi sukses melewati badai, sejarah dunia yang akan mencatat.

Dampak Krisis China di Indonesia

Dampak krisis China di tengah suramnya dunia penting menjadi perhatian khusus Pemerintah Indonesia. Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia lebih dari satu dekade, turbulensi perekonomian China akan berpengaruh ke Indonesia.

Di sisi lain ruang gerak untuk menutupi berkurangnya permintaan dari China terbatas karena hampir semua negara di dunia menghadapi persoalan sama disertai agresivitas kebijakan proteksionis negara maju.

Perlambatan ekonomi China mulai terlihat pada September 2024, transaksi perdagangan Indonesia defisit. Tren ini diproyeksi terus berlanjut kedepannya.

Beberapa komoditas andalan ekspor seperti feronikel, batu bara, cpo dan nikel permintaannya akan menurun seiring turunnya harga di pasaran internasional sesuai hukum supply dan demand. Sehingga ruang fiskal Indonesia semakin terbatas karena berkurangnya pendapatan dari pajak ekspor maupun royalti.

Tekanan fiskal tadi semakin membatasi ruang gerak pemerintah untuk mewujudkan program-program pemberdayaan rakyat. Kalau situasi ini berlangsung lama pemerintah akan dipaksa keadaan untuk membuat pilihan kebijakan tidak populer bak simalakama. Jalan pintasnya antara lain mencabut subsidi, menaikkan pajak, dan atau menambah utang.

Harus dipikirkan untuk merumuskan terobosan mengatasi persoalan tersebut di luar pendekatan konservatif tadi. Memang sulit tapi bukan tidak bisa bila bertekad. Karena, pemerintahan saat ini dalam menghadapi potensi masalah ekonomi dari situasi global yang berbahaya bila dicermati tidak dipersiapkan dengan baik dan benar oleh pemerintahan sebelumnya.

Situasi ini sangat dikhawatirkan dalam menghadapi potensi besar masalah regional dan global dari krisis yang terjadi di China. Dalam sejarah kontemporer Indonesia trigger persoalan dari luar selalu menciptakan ‘sesuatu’.

Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan, dalam pidatonya mengatakan situasi dunia dalam keadaan sangat tidak baik dan diliputi uncertainty yang tinggi. Sayangnya sekali lagi selama satu dekade Pemerintahan sebelumnya tidak mempersiapkan keadaan ekonomi, politik, dan hukum dengan baik untuk Pemerintahan yang menggantikan.

Seharusnya Pemerintahan sebelumnya menjalankan pepatah sedia payung sebelum hujan agar penggantinya tidak mengalami kesulitan akut dan kronis. Tapi sepertinya ini dilakukan secara sengaja dan lebih senang melakukan besar pasak daripada tiang.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan