Jejak Maritim Indonesia: Dari Prinsip Kebebasan hingga Kolonialisme

  • Bagikan
Ilustrasi. (IST)

Oleh: Desy Selviana (Pustakawan)

Sejarah kebudayaan masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari laut. Dengan wilayah yang terdiri atas 62 persen perairan, laut telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Nusantara sejak masa lampau.

Laut tidak hanya berperan sebagai sumber daya alam, tetapi juga sebagai jalur penghubung yang memungkinkan terjadinya interaksi budaya, perdagangan, dan perkembangan peradaban. Dalam perjalanan sejarah, peran laut ini turut membentuk identitas bangsa Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya laut bagi kehidupan masyarakat dan kelangsungan kerajaan terlihat dari prinsip kebebasan laut yang diterapkan oleh raja-raja Makassar (Gowa-Tallo). Mereka menegaskan bahwa laut adalah milik semua orang dan tidak ada yang berhak melarang siapa pun untuk berlayar.

Pernyataan seperti "Tuhan memberikan laut secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut" menjadi simbol sikap terbuka Kerajaan Makassar terhadap kebebasan maritim. Prinsip ini kemudian menantang kekuatan-kekuatan asing yang berusaha menguasai perairan Nusantara.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) melihat pelabuhan Makassar sebagai pusat perdagangan rempah yang sangat strategis. Dengan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala yang sering kali lebih murah daripada di Maluku, Makassar menjadi tujuan utama para pedagang internasional. Situasi ini memotivasi VOC untuk menghancurkan dominasi Kerajaan Makassar.

Dengan menggandeng Arung Palakka dari Bone dan Sultan Buton, VOC berhasil mengalahkan Makassar melalui perang besar pada 1666-1667. Perang tersebut berakhir dengan Perjanjian Bungaya, yang membatasi aktivitas perdagangan dan pelayaran rakyat Makassar.

Dalam perjanjian itu, VOC memastikan hanya mereka yang berhak berdagang bebas di Makassar, sementara rakyat Makassar dilarang berlayar tanpa izin dari Komandan Belanda. Hukuman bagi pelanggar adalah penyitaan harta atau hukuman mati.

Dominasi VOC di jalur strategis seperti Laut Flores, Laut Banda, dan Selat Makassar menandai babak baru dalam sejarah maritim Indonesia. Namun, kebijakan mare clausum (laut tertutup) yang diterapkan VOC bertentangan dengan prinsip mare liberum (laut bebas) yang dikembangkan oleh Hugo de Groot, seorang tokoh Belanda dan Bapak Hukum Internasional.

Dalam bukunya Mare Liberum (1608), Grotius menegaskan bahwa laut adalah wilayah tanpa batas yang tidak dapat dimiliki oleh siapa pun. Meski demikian, VOC mengesampingkan prinsip ini demi monopoli perdagangan rempah.

Sejarah laut di Indonesia juga mencerminkan pentingnya peran maritim dalam jaringan perdagangan global. Komoditas seperti cengkeh, pala, lada, dan emas dari Nusantara menjadi barang dagangan yang sangat diminati di pasar internasional.

Pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Makassar dan Donggala menjadi titik temu pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk pelaut Bugis, Mandar, Inggris, dan Belanda. Bahkan, komoditas tertentu dari Teluk Tomini diperdagangkan hingga Singapura, memperlihatkan luasnya jaringan maritim Nusantara.

Namun, dominasi asing terhadap jalur-jalur perdagangan ini membawa dampak besar bagi masyarakat Indonesia. Serangan Amerika Serikat ke Aceh pada abad ke-19, yang berlatar belakang perdagangan lada, serta penaklukan wilayah-wilayah strategis oleh VOC, menunjukkan betapa laut menjadi arena perebutan kekuasaan yang tidak hanya memengaruhi sejarah lokal, tetapi juga sejarah global.

Laut telah menjadi saksi dari perjuangan, perdagangan, dan kolonialisme di Nusantara. Dalam setiap gelombangnya, laut membawa cerita tentang kejayaan, tantangan, dan perubahan. Sejarah ini mengingatkan bahwa laut adalah aset penting yang harus dijaga, tidak hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai kunci masa depan bangsa Indonesia. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan