FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan penambahan jumlah reses di DPD RI pada periode Oktober hingga Desember 2025. Kebijakan yang awalnya menetapkan satu kali reses dalam rentang waktu tersebut kini berubah menjadi dua kali. Menurutnya, keputusan ini bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan dapat memicu pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara.
Keputusan DPD RI untuk meningkatkan jumlah reses dari empat kali menjadi lima kali dalam tahun persidangan terakhir dianggap tidak sejalan dengan aturan yang mengharuskan masa reses DPD selaras dengan DPR. Sementara itu, DPR hanya menjadwalkan satu kali reses dalam periode tersebut.
“Saya kira, selain melanggar UU MD3, penambahan reses ini tentu akan memberikan tekanan yang berat kepada APBN kita. Ini mencerminkan para pembuat kebijakan di DPD tidak memiliki sense of crisis,” ujar Hardjuno di Jakarta, Jumat (16/1/2025).
Hardjuno juga menyoroti besarnya anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membiayai tambahan reses ini. Menurutnya, biaya yang dikeluarkan untuk satu kali reses anggota DPD RI mencapai ratusan juta rupiah per orang.
“Kita tahu uang reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR dan DPD cukup besar. Kalau tidak salah, setiap anggota menerima lebih kurang 350 juta rupiah sekali reses. Sedangkan jumlah anggota DPD sekarang ada 152 orang. Jadi dikalikan saja, berapa uang APBN yang terkuras untuk penambahan reses DPD RI ini,” tegasnya.