Sebagai peneliti dalam studi perampasan aset di beberapa negara, Hardjuno menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Ia mengingatkan bahwa jadwal sidang dan reses DPD telah lama disinkronkan dengan DPR guna memastikan efektivitas fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi.
“Selama ini jadwal sidang dan reses DPD telah disinkronkan dengan DPR untuk memastikan fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi berjalan efektif,” katanya.
Dalam pandangannya, kebijakan ini bisa mencederai prinsip tata kelola keuangan negara yang baik. Ia pun meminta agar DPD RI menghentikan kebijakan tersebut demi mencegah pemborosan anggaran.
“Kami minta stop menghambur-hamburkan dana APBN untuk kegiatan reses ini,” pintanya.
Lebih lanjut, Hardjuno menekankan bahwa tindakan korup tidak hanya berbentuk pelanggaran hukum secara langsung, tetapi juga kebijakan yang tidak mematuhi prinsip pengelolaan keuangan negara, termasuk keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Ia berharap kritik ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi pimpinan DPD RI agar lebih bijak dalam menyusun kebijakan anggaran.
“Kami harapkan, semua pihak yang terlibat bersikap terbuka terhadap kritik dan segera mengambil langkah korektif untuk memperbaiki kebijakan yang telah diambil,” tambahnya.
Sementara itu, Indonesian Corrupt Workflow Investigation (ICWI) turut menyoroti kebijakan ini dan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki potensi pelanggaran yang terjadi. ICWI menilai, penambahan jumlah reses yang tidak sesuai aturan berpotensi menyebabkan penyalahgunaan anggaran negara, terutama di tengah kondisi fiskal yang sedang defisit.