Dua Jejak Pemberontakan: Kisah Andi Abd Azis dan Abd Kahar Muzakkar

  • Bagikan
Andi Abd Azis dan Abd Kahar Muzakkar.

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang penuh dinamika, termasuk kiprah dua tokoh kontroversial yang berperan besar dalam perjalanan sejarah militer Indonesia: Andi Abd. Azis dan Abd. Kahar Muzakkar. Kisah mereka bukan hanya mencerminkan kerumitan politik pada masa itu, tetapi juga menggambarkan dilema loyalitas dan identitas.

Andi Abd Azis: Dari Kesetiaan ke Tuduhan Pemberontakan

Pada 30 Maret 1950, Letnan Satu KNIL Andi Abd. Azis secara resmi meninggalkan kesatuan militer Belanda dan menyatakan kesetiaannya pada Republik Indonesia Serikat (RIS) serta Negara Indonesia Timur (NIT). Langkah ini dilandasi oleh kesadaran dirinya sebagai putra Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan, Pemerintah RIS menerima Andi Abd. Azis menjadi anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dengan kenaikan pangkat menjadi Kapten.

Namun, situasi berubah drastis. Empat belas hari kemudian, tepatnya pada 13 April 1950, Presiden RIS menyatakan Andi Abd. Azis sebagai pemberontak. Ia ditangkap di Jakarta sehari setelahnya dan diajukan ke pengadilan militer di Yogyakarta pada 1953.

Dalam pembelaannya, Andi Abd. Azis mengakui bahwa ia buta politik akibat didikan dan lingkungannya di Belanda. "Overste, salahkah saya jika tidak mengenal Proklamasi 17 Agustus 1945? Saya dididik di tengah masyarakat Belanda dan tidak memiliki hubungan dengan bangsa saya sendiri," ungkapnya di hadapan majelis hakim.

Pada 8 April 1953, pengadilan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara atas tindakannya yang menyebabkan gugurnya anggota APRIS. Dengan tegas, ia menerima putusan tersebut. "Siap, Overste. Saya menerima baik," katanya. Andi Abd. Azis, yang sebelumnya dianggap sebagai pahlawan oleh sebagian kalangan, akhirnya menjalani hukuman yang menutup karier militernya.

Abd Kahar Muzakkar: Perjuangan yang Berubah Arah

Sementara itu, Abd. Kahar Muzakkar muncul sebagai sosok yang mengemban tanggung jawab besar pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Pada 1949, ia diangkat menjadi Komandan Grup Seberang untuk mengkoordinasi gerilyawan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Di Sulawesi Selatan, ia membentuk Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) guna menyatukan kelompok gerilya yang terpencar.

Namun, upaya Kahar Muzakkar untuk mengintegrasikan anggotanya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak berjalan mulus. Usulannya agar para gerilyawan diterima sebagai prajurit dan membentuk Brigade Hasanuddin ditolak oleh Kolonel Kawilarang, Panglima Teritorium Indonesia Timur. Kegagalan ini memicu kekecewaan mendalam di kalangan anggota KGSS.

Pada 1 Juli 1950, Kahar Muzakkar menyerahkan pangkat Letnan Kolonelnya dan menyatakan diri keluar dari TNI. Ia kembali memimpin KGSS dan memilih bergerilya di hutan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada 1953, ia menyatakan kesetiaannya kepada Negara Islam Indonesia (NII) di bawah imam besar Kartosuwiryo. Dua belas tahun kemudian tepatnya tanggal 1 Februari 1965 tentara menemukan sebuah gubuk di tepi sungai Lasolo yang diduga sebagai tempat persembunyiannya.

Refleksi Sejarah

Kisah Andi Abd. Azis dan Abd. Kahar Muzakkar adalah cerminan dilema sejarah bangsa yang sedang mencari jati diri. Keduanya dianggap melakukan pelanggaran berat menurut hukum negara, tetapi di mata sebagian masyarakat Bugis, tindakan mereka memiliki makna berbeda. Dalam konsep budaya tradisional Bugis, perbuatan mereka dapat digolongkan sebagai "Riuno," sebuah pelanggaran besar yang layak dihukum berat.

Namun, meskipun tindakan mereka dikategorikan sebagai Riuno, ada nuansa dalam penilaian masyarakat. Sebagian orang Bugis melihat bahwa tindakan mereka muncul dari rasa frustrasi terhadap kondisi sistemik yang dianggap tidak adil.

Dalam hal ini, konsep siri’ dapat diterapkan dalam dua cara: sebagai alasan melawan penghinaan atau ketidakadilan yang dirasakan, atau sebagai pengingat untuk mempertahankan kehormatan kolektif masyarakat.

Kisah mereka menjadi pengingat akan pentingnya keseimbangan antara kepatuhan terhadap hukum negara dan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional yang telah mengakar dalam masyarakat. Namun, kisah mereka juga mengingatkan kita akan kompleksitas masa transisi, di mana loyalitas pribadi, politik, dan budaya sering kali saling berbenturan. Kedua tokoh ini menjadi saksi bisu dari pergulatan bangsa Indonesia menuju kedaulatan yang utuh. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan