Politikus Partai Golkar itu berharap pemerintah pusat dan daerah segera merespons kemenangan ini dengan kebijakan strategis, termasuk penyediaan infrastruktur pendukung guna memaksimalkan potensi pasar sawit di Eropa.
Sebelumnya, WTO memutuskan bahwa kebijakan Uni Eropa dalam Renewable Energy Directive (RED) terbukti tidak adil dan merugikan minyak sawit serta biofuel asal Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa kemenangan ini merupakan bukti Indonesia tidak bersalah dan mampu melawan diskriminasi perdagangan. "Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Ini membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel, Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini adalah bukti bahwa kita bisa melawan dan kita bisa menang," tegas Airlangga, Jumat (17/1/2025).
WTO juga menyoroti bahwa Uni Eropa tidak melakukan evaluasi yang tepat dalam menetapkan biofuel berbasis sawit sebagai high ILUC-risk (risiko tinggi akibat perubahan penggunaan lahan tidak langsung). Selain itu, aturan sertifikasi low ILUC-risk yang diterapkan Uni Eropa dinilai lemah dan diskriminatif.
Tak hanya itu, kebijakan insentif pajak Prancis melalui The French TIRIB juga dianggap berat sebelah. Prancis hanya memberikan insentif pajak bagi biofuel berbasis rapeseed dan soybean, sementara mengecualikan biofuel berbasis kelapa sawit. Dengan keputusan WTO yang bersifat mengikat ini, Uni Eropa memiliki waktu 60 hari untuk menyesuaikan kebijakan mereka agar sesuai dengan aturan perdagangan internasional.