FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, melontarkan kritik tajam terhadap usulan penggunaan dana zakat untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia menilai wacana ini hanya menambah daftar kontroversi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan mencerminkan ketidakpahaman Ketua DPD RI dalam tata kelola keuangan negara.
"Ini bukan soal ide yang kreatif atau tidak, tetapi soal bagaimana kita harus berpegang teguh pada prinsip tata kelola keuangan negara yang transparan dan bertanggung jawab. Dana zakat memiliki aturan penggunaannya sendiri yang diatur dalam syariat Islam, sehingga mengalihkannya untuk program seperti MBG justru berpotensi menimbulkan polemik di tengah masyarakat," ujar Hardjuno dalam keterangannya di Jakarta, Senin (20/1/2025).
Sebelumnya, Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, mengusulkan keterlibatan masyarakat dalam pendanaan program MBG, salah satunya melalui pemanfaatan dana zakat yang terkumpul di lembaga zakat. Namun, menurut Hardjuno, usulan ini bersifat asal bunyi (asbun) dan harus ditolak. Pasalnya, semangat dari wacana tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Lebih lanjut, Hardjuno menilai bahwa wacana ini menunjukkan bahwa pimpinan DPD tidak memiliki kepekaan terhadap situasi negara dan pemerintahan baru yang sedang berupaya menata kebijakan sesuai dengan jalur yang benar. Oleh karena itu, ia berharap wacana penggunaan dana zakat untuk MBG tidak berlanjut.
"Zakat itu sudah jelas peruntukannya dalam Islam, di mana penerimanya telah ditentukan. Tugas kita hanya memastikan agar dana tersebut disalurkan dengan baik sesuai dengan ketentuan. Jangan sampai dialihkan ke program lain yang tidak sesuai dengan aturan yang sudah baku," tegasnya.
Selain itu, Hardjuno juga mengingatkan DPD RI agar lebih fokus pada kebijakan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas. Ia mengkritik kebijakan DPD yang justru menambah jumlah masa reses di periode Oktober hingga Desember 2024, dari yang seharusnya satu kali menjadi dua kali, yang berpotensi membebani anggaran negara.
"Sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana DPD menambah jumlah reses mereka melebihi jumlah reses DPR RI. Ini jelas membebani APBN miliaran rupiah. Sekarang, mereka malah mengusulkan kebijakan yang justru bisa menciptakan masalah baru dengan menggunakan dana zakat untuk MBG," ujar Hardjuno.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa langkah DPD dalam menambah reses merupakan contoh nyata dari pengelolaan keuangan negara yang tidak patuh terhadap aturan. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi melanggar Undang-Undang MD3 yang mengatur bahwa jadwal reses DPD harus mengikuti jadwal reses DPR.
Tidak hanya itu, ia juga menyebut bahwa kebijakan tersebut dapat melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hardjuno menekankan bahwa aparat penegak hukum seharusnya turun tangan untuk menyelidiki potensi pelanggaran ini.
"Selain aparat penegak hukum, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga bisa melakukan audit dengan tujuan tertentu yang lebih mendalam, mengingat konsekuensi dari penggunaan miliaran rupiah dana APBN. Terlebih, Presiden Prabowo telah meminta seluruh kementerian dan lembaga untuk melakukan penghematan fiskal," pungkasnya. (zak/fajar)