Tiga Tahun Tanpa Atap, Murid SD di Takalar Terpaksa Belajar di Bawah Tenda

  • Bagikan
Sejumlah murid sekolah dasar (SD) menunggu waktu belajar di dekat bangunan sekolah yang tidak layak pakai di SDN 95 Campagaya, Desa Tamasaju, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, Senin (20/1/2025). ANTARA FOTO/Arnas Padda/tom.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi memilukan dialami para siswa di SD Negeri 59 Campagaya, Desa Tamasaji, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Sejak tiga tahun terakhir, mereka terpaksa belajar di teras sekolah karena bangunan kelas yang rusak parah tak kunjung diperbaiki akibat sengketa lahan.

Bangunan sekolah ini mengalami kerusakan berat, terutama pada atap yang sudah tidak ada. Para siswa terpaksa belajar di bawah tenda darurat atau berdesakan di ruangan yang masih tersisa, meskipun plafonnya sudah runtuh.

“Hanya ada dua kelas yang layak pakai, sementara empat kelas lainnya sudah tidak bisa digunakan, sehingga anak-anak harus belajar di bawah tenda,” ungkap Nuryanti, salah satu guru di sekolah tersebut, Rabu (15/1).

Kondisi semakin memprihatinkan ketika hujan turun. Para siswa yang seharusnya bisa belajar dengan nyaman harus berdesakan di satu kelas yang masih memiliki atap, meskipun keadaannya juga sudah tidak layak.

“Kalau hujan, mereka kehujanan dan harus berkumpul di satu kelas. Itu pun plafonnya sudah runtuh. Kami kasihan melihat anak-anak, terutama saat musim hujan, mereka tidak tahu harus belajar di mana,” ujar Nuryanti dengan nada penuh keprihatinan.

Sengketa lahan menjadi penyebab utama lambatnya perbaikan sekolah. Pihak ahli waris yang mengklaim sebagai pemilik tanah menolak adanya renovasi sebelum ada pembayaran dari pemerintah daerah. Akibatnya, kondisi bangunan terus memburuk dan berdampak pada minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sana.

“Banyak orang tua yang mulai enggan menyekolahkan anaknya di sini. Saat tahun ajaran baru, pendaftar semakin berkurang,” tambah Nuryanti.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Takalar, Darwis, mengakui pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena status tanah yang masih dalam sengketa.

“Seharusnya sejak 2021, sekolah ini sudah mendapat program rehabilitasi dari Dana Alokasi Umum (DAU), tapi karena ada sengketa lahan, prosesnya terhambat,” jelasnya.

Meski demikian, Darwis menegaskan pihaknya telah melakukan upaya mediasi dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk kejaksaan dan ahli waris yang mengklaim kepemilikan lahan. “Dari hasil mediasi, pihak ahli waris sebenarnya tidak keberatan jika lahannya digunakan untuk sekolah, tetapi mereka khawatir akan ada masalah saat penerbitan sertifikat. Namun, sepanjang lahan ini digunakan untuk belajar mengajar, seharusnya tidak ada kendala,” pungkasnya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan