FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad Said Didu kembali mengungkapkan pandangannya yang membuat publik tercengang dalam podcast Abraham Samad Speak Up.
Ia menuding bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melibatkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 hanya menjadi alat untuk menggusur rakyat kecil secara masif.
"Saya melihat PSN ini dibungkus untuk menggusur rakyat. Itulah yang terjadi di PIK," ujar Said Didu dikutip pada Jumat (24/1/2025).
Dikatakan Said Didu, proyek PIK 2 yang dulunya hanya mencakup kawasan berdampingan dengan PIK 1, kini berkembang hingga jauh ke wilayah Serang.
Namun, ia menyebut ada kejanggalan terkait perubahan penamaan kawasan tersebut setelah masuk dalam daftar PSN.
"Menariknya, dulu PIK 2 itu hanya berdampingan dengan PIK 1, yang lain sampai Serang itu PIK 10 namanya. Setelah keluar PP tentang dia menjadi PSN semua menjadi PIK 2," sebutnya.
Kata Said Didu, karena berubah menjadi PSN, maka ada semangat baru dalam prosesnya. Akan tetapi semangat itu justru disebut tidak berpihak ke rakyat.
"Dengan semangat itu, maka dibawa itu semangatnya untuk menggusur rakyat sangat tinggi. Membabi buta. Saya cerita pengalaman saja, saya tidak tahan melihat penderitaan rakyat," Said Didu menuturkan.
"Di sana kalau kita lihat supaya orang bisa membayangkan sepanjang mana daerah-daerah itu, kita lihat kecamatan mana saja sih yang kena," tambahnya.
Didu juga menyoroti praktik pembebasan lahan yang disebutnya sangat merugikan rakyat.
Harga tanah yang semula mencapai Rp30 juta per meter persegi, hanya dihargai Rp50 ribu oleh pihak pengembang.
"Teluk naga itu bersampingan betul dengan bandara, kemudian Kosambi itu sekitar bandara, harga tanah di sana sampai Rp30 juta per meter. Itupun dibebaskan Rp50 ribu," imbuhnya.
Kecamatan lain pun merasakan dampaknya, seperti Sukadiri, Mauk, Kemiri, Kronjo, hingga Mekar Baru.
"Ada lagi satu kecamatan yang berbatasan dengan Serang," terangnya.
Lebih jauh, Said Didu mengisahkan pengalaman pribadinya ketika mencoba menemui warga yang terdampak proyek tersebut.
"Nah itulah yang dibebaskan. Saya datang ke lokasi itu awalnya ada 20 rakyat mau ketemu," tukasnya.
Hanya saja, pertemuan tersebut penuh dengan suasana ketakutan akibat pengawasan ketat dari aparat dan keberadaan preman.
"Beritanya bocor, tuan rumah bilang, kami kalau terima tamu pak bisa kencing berdiri kami. Ketakutan mereka," tandasnya.
Said Didu mengaku prihatin dengan penderitaan yang dialami rakyat kecil akibat proyek ini.
Ia menganggap keberadaan aparat dan preman di wilayah tersebut mencerminkan tekanan yang luar biasa terhadap masyarakat yang tanahnya digusur.
"Yang menarik, terlalu banyak berkeliaran aparat dan preman di wilayah pembebasan," kuncinya.
(Muhsin/fajar)