Misteri Pagar Laut Tangerang: Eks Wakapolri Heran Tak Ada Laporan Polisi

  • Bagikan
Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), Komjen (Purn) Oegroseno, menyoroti adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pemagaran laut sepanjang lebih dari 30 km. 
Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), Komjen (Purn) Oegroseno, menyoroti adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek pemagaran laut sepanjang lebih dari 30 km. 

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Eks Wakapolri, Oegroseno, menyoroti sejumlah undang-undang yang berpotensi dilanggar dalam kasus kontroversial pemasangan pagar laut di Tangerang. Menurutnya, kasus ini bukan hanya sekadar permasalahan administratif, tetapi memiliki aspek hukum yang cukup kompleks.

"Pertama-tama, ada pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan, kemudian Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960," ujar Oegroseno, dikutip dari kanal YouTube Abraham Samad.

Tak hanya itu, ia juga menyebut adanya potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, Undang-Undang Kelautan Nomor 32 Tahun 2014, serta regulasi terkait sumber daya air. Selain itu, Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 21 Tahun 1999 juga bisa menjadi rujukan dalam menangani perkara ini.

Menurut Oegroseno, Kepolisian Republik Indonesia merupakan lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus ini. Ia menekankan bahwa aparat kepolisian, mulai dari Babinkamtibmas hingga Kapolsek, seharusnya sudah mengambil langkah sejak awal.

"Jadi, kalau melihat ini sebagai seorang Bhayangkara yang tribrata dan catur prasetya, setidaknya sudah ada laporan polisi model A," lanjutnya.

Oegroseno pun heran bagaimana bisa pemasangan pagar laut dari bambu dilakukan setiap hari, pagi hingga sore, selama berbulan-bulan tanpa ada laporan yang masuk ke kepolisian.

"Saya sangat menyayangkan jika sampai sekarang belum ada laporan resmi kepada polisi terkait pemasangan pagar laut di Tangerang," tegasnya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan alasan pemisahan laut dengan bambu, yang menurutnya tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga menghilangkan esensi laut sebagai pemersatu bangsa.

"Kalau TNI turun tangan, saya rasa tidak ada yang salah, karena sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kedaulatan negara, mereka juga berhak mengawasi permasalahan ini," ujarnya.

Oegroseno berharap kepolisian segera mengambil langkah tegas, terutama karena kasus ini melibatkan dua wilayah kepolisian daerah (Polda). Menurutnya, idealnya, Bareskrim Polri harus segera turun tangan agar penyelidikan berjalan lebih efektif.

Ia juga menegaskan agar kepolisian tidak takut menghadapi pihak-pihak besar yang diduga terlibat, termasuk Aguan, pemilik dan pendiri Agung Sedayu Group.

"Nggak usah takut. Gus Dur saja waktu jadi saksi kasus Bulog tetap diperiksa di Istana, dan itu bukan masalah. Jadi, kalau Aguan dan lainnya harus diperiksa, ya diperiksa saja," ujarnya.

Oegroseno menegaskan bahwa setiap pihak yang terlibat harus mendapatkan panggilan pemeriksaan sesuai prosedur hukum yang berlaku.

"Kalau tidak hadir panggilan pertama, ada panggilan kedua. Kalau panggilan ketiga tetap tidak datang, ya dijemput. Semua harus sesuai hukum acara pidana yang berlaku. Itu kan karya agung bangsa kita, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Terapkan sepenuhnya, tidak ada masalah," paparnya.

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa kepolisian harus berani menindak kasus ini tanpa ragu.

"Jangan takut! Kalau takut, berarti kita mundur jauh. Saya 35 tahun 2 bulan di kepolisian, dan saya tahu betul bahwa polisi itu tidak boleh takut menghadapi pelanggar hukum. Mudah-mudahan polisi sekarang lebih berani dari generasi sebelum saya," pungkasnya. (bs-zak/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan