Namun, ditampilkan hanya 39 TPS. Ini kan tidak signifikan dan keterangan tidak jelas dari tim INIMI. Ini tidak sesuai dalil mereka.
Ia menilai bahwa, tuduhan kecurangan yang disampaikan oleh kubu INIMI, seperti manipulasi Daftar Hadir Pemilih Tetap (DHPT) dan tanda tangan palsu tidak sesuai fakta persidangan.
"Mengenai tanda tangam palsu, sudah terjawab bahwa, kata kunci adalah mereka dapat undangan form C6 memilih sehingga datang ke TPS, jadi tidak diwakili. Sehingga, tuduhan dari pemohon sangatlah tidak rasional," jelasnya.
Tak hanya itu, Prof. Amir menuturkan dalil pemohon soal tingkat partisipasi masuk dalam petitum sangatlah lucu. Menurutnya, setiap hajatan pilwali Makassar tingkat partisipasi pemilih relatif, sehingga tidak ada paslon yang mengintervensi pemilih.
Ia mencontohkan, pada pilwali Makassar, tahun 2013 partisipasi pemilih sebesar 58,9 persen, sedangkan pada pilkada 2018 sebesar 57,2 persen. Sementara itu, pilkada 2020 sebesar 59,6 persen.
Jika dibandingkan dengan partisipasi pilkada yang tertinggi berada pada tahun 2013 itu meningkat 0,7 persen. Namun, jika dibandingkan dengan partispasi pilkada 2020 dengan pilkada yang terkahir 2018 meningkat 2,4 persen.
"Sangat lucu kalau pemohon soal partisipasi masuk dalil pemohon. Apalagi disebut ada intervensi pemilih. Kalau kita lihat 2013, 2018 mulai angka 57 dan 58 persen," ungkapnya.
"Katanya paslon lawan arahakan pemilih atau intervensi, seharusnya incumben mengarahakan. Jadi, sangat lucuh kalau tudihan ke lawan arahkan. Kan semua dalil pemohon juga terbantahkan di depan hakim MK kan," lanjut Prof. Amir.