FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Ratusan anggota Satuan Siswa, Pelajar, dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (Sapma PP) Kota Makassar mengadakan unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Jalan R.A. Kartini, pada Kamis (6/2/2025) kemarin.
Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap dugaan praktik mafia tanah di Makassar, termasuk yang dituduhkan kepada David Limbunan.
David saat ini tengah mengajukan praperadilan di PN Makassar atas status tersangkanya yang ditetapkan oleh Polda Sulawesi Selatan.
David Limbunan menjelaskan bahwa dirinya dilaporkan oleh Tauphan Ansar Nur, yang mengklaim memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) 27683 dan 27684 dengan luas 6,7 hektare.
David menegaskan bahwa laporan terhadapnya berkaitan dengan Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin, bukan terkait pemalsuan surat seperti yang diduga banyak pihak.
"Saya mengajukan praperadilan karena banyak kejanggalan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Ini adalah laporan ketiga kalinya terhadap saya dengan objek yang sama sejak 2016," jelas David saat dihubungi via telepon, Jumat (7/2/2025).
Ia mengungkapkan bahwa kasus tersebut seharusnya telah kedaluwarsa sejak 2022 berdasarkan Pasal 78 KUHP.
David juga menambahkan bahwa penyidik seharusnya menunggu hasil putusan perdata sebelum memproses laporan tersebut, sesuai Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 1 Tahun 1956.
"Saat ini, masih berlangsung gugatan perdata terkait perbuatan melawan hukum dengan empat tergugat, yaitu HM Arsyad Sakka, BPN Wilayah Sulsel, BPN Kota Makassar, dan Tauphan Ansar Nur," tambahnya.
David juga menyoroti, saksi yang diperiksa oleh pihak kepolisian semuanya berasal dari pihak pelapor, termasuk kuasa hukum pelapor yang turut memberikan kesaksian.
Sementara itu, Pamil Abbas, yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan tersebut, membantah anggapan bahwa David Limbunan adalah mafia tanah.
Menurut Pamil, David membeli tanah seluas 1,75 hektare dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan pada 2006.
Lahan tersebut berada di Kompleks Pergudangan Kaserokang, yang dikelola oleh Hj. Hatijah bersaudara sejak Oktober 2009.
"Dibelilah tanah itu, dicek di BPN, statusnya aman. Kemudian ditimbun, dipagari, dan digunakan sebagai bengkel alat berat," kata Pamil Abbas.
Namun, pada 2012, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan enam SHM milik Hj. Hatijah.
Kemudian, pada 2016, muncul dua SHM baru dengan luas total 6,7 hektare atas nama HM Arsyad Sakka alias Sako.
"Pernahkah Anda lihat SHM pakai alias? Padahal di KTP namanya tanpa alias," ujar Pamil dengan nada heran.
Setelahnya, tanah tersebut dibeli oleh Tauphan Ansar Nur, pemilik kompleks pergudangan Lantebung yang berbatasan dengan Pergudangan Kaserokang.
"Jadi yang berdemo mengaku pemilik lahan itu tidak benar. Pemilik sebenarnya adalah Tauphan Ansar Nur, pemilik PT. Dillah Group. Setiap pejabat tahu bahwa Tauphan Ansar adalah orang kuat di Makassar," tegas Pamil.
Pamil pun menganggap bahwa ada upaya membalikkan fakta dalam kasus ini.
"Ini maling teriak maling," pungkasnya.
(Muhsin/fajar)