Oleh: Dr Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI dan Ketua Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa)
PRESIDEN Prabowo melakukan efisiensi. Bahasa lainnya : pengetatan. Anggaran yang tidak efisien dipangkas. Penggunaan parfum ruangan dan jemputan PNS dihapus. Total efisiensi yang bakal diselamatkan sekitar Rp306,7 triliun. Kementerian Kesehatan aja dipangkas Rp 19 triliun. Ini inovasi yang bukan hanya bagus, tapi sangat luar biasa.
Angkat topi. Pak Prabowo bisa melihat bahwa issu inefisiensi memang harus diterabas dari hulu. Bukan hilir. Terlalu banyak reseh-reseh kegiatan birokrasi yang membuat anggaran dana terbuang percuma. Terlalu banyak pernik-pernik inefisiensi yang dimainkan atas alasan prosedur birokrasi.
Banyak program yang dipangkas pendanaannya oleh pak Prabowo. Namun ada satu yang terlupakan: tradisi jemputan pejabat-pejabat. Ini sungguh tidak efektif dan efisien.
Satu Menteri datang ke daerah, ada satu truk yang menjemputnya. Mulai dari Gubernur, Bupati, Kepala Dinas hingga staf keprotokoleran. Belum lagi dari unsur kepolisian dan militer. Mereka ramai-ramai datang ke bandara untuk menjemput seorang Menteri atau pejabat.
Bisa dibayangkan betapa banyak waktu dan aspek finansial yang terbuang. Para penjemput yang datang ke bandara bukan tanpa pembiayaan. Perjalanan mereka untuk menjemput butuh bensin; butuh singgah makan-makan. Belum lagi kalau ibu-ibunya ikut. Mereka tentu perlu dandan dan bahkan ke salon.
Penjemputan juga butuh seremoni; ada kalungan bunga, tari-tarian, makan-makan; sebelum sang pejabat dihantar ke hotel atau tempat acara.
Saat jalanpun, mereka dikawal patwal dengan mobil ‘ngiung-ngiung’. Kegiatan jalanan harus terhenti agar mereka jalan.
Ini bukan hanya pemborosan tetapi penghamburan. Untuk menjemput seorang pejabat ini, para Gubernur, Bupati, Kepala Dinas dan rombongannya harus meninggalkan tugasnya.
Padahal tugas mereka sangat bejibun. Tugas mereka seharusnya melayani rakyat; bukan jemput-jemputan. Mereka orang yang sangat sibuk. Untuk menemui seorang Kepala Dinas saja kadang harus antri berhari-hari; giliran jemput pejabat, mereka sukarela datang.
Padahal, katanya sibuk. Seolah ada kesan bahwa seorang pejabat adalah orang sangat terhormat dan vulnerable yang harus dijemput. Kalau enggak dijemput, sang pejabat bakal kesasar. Atau mungkin bakal dijambret. Ya enggaklah. Mereka kan datang dengan asisten pribadi dan pengawal. Lantas ngapain dijemput-jemput. Seolah mereka tidak terhormat bila tidak dijemput. Dan seolah penjemput baru sah menjadi anak buah kalau menjemput pejabat.
Ini mental feodalisme. Mental yang muncul dari sistem patronase dan clientelisme, yang sudah tidak tepat diterapkan didunia AI saat ini.
Siapapun pejabat datang, ya Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Bupati, tidak perlulah jemputan beraneka ragam. Wasting time dan wasting resources. Bayangkan kalau ada ratusan pejabat yang setiap hari melakukan kunjungan daerah, berapa ribu rombongan yang terlibat dalam penjemputan. Dan berapa banyak uang dan waktu yang terbuang.
Tangiable dan intangiable resources musnah begitu banyak hanya karena jemput-menjemput para pejabat ini. Pejabat sekarang disuruh pakai kelas ekonomi saat terbang; memang ada penurunan biaya. Tapi penghematan akibat penggunaan kelas ekonomi tidak ada artinya dibanding seremoni penjemputan mereka. Artinya, masuk satu koin kantong kanan, keluar sepuluh koin di kantong kiri. Mia-mia. Podowae.
Bayangkan kalau ada pejabat yang gemar ke daerah dan gemar disambut. Berapa banyak uang dan waktu yang terbuang. Tangiable dan intangiable resources musnah sekejap begitu banyak hanya karena jemput para pejabat ini. Kalau ada larangan penjemputan pejabat, anggaran yang akan dihemat sangatlah besar.
Nilainya akan fantastis. Akan melebihi Rp 300 triliun; jauh diatas nilai efisiensi yang diusahakan pak Prabowo lewat program inefisiensinya saat ini.
Budaya jemput-menjemput pejabat adalah salah satu sumber inefisiensi terbesar di Indonesia.
Inefisiensi akibat mental feodalisme yang ditularkan ke kita hingga saat ini. Budaya yang sudah tidak layak ada di era AI ini. Seriously, sistem patronase sudah usang. Kalau kita masih mau stick pada budaya ini, artinya kita masih hidup pada era : once upon a time. (*)